Chapter 25 - O aja ya kan

177 8 8
                                    

Jika dulu kau bersamanya memiliki kenangan yang semu, dapatkah kini aku mengganti sosok masa lalumu menjadi seru?


💮💮💮

       Kebenaran akan tetap menjadi kenyataan, dan akan selalu seperti itu. Kita tak mampu melupakan masa lalu, namun apa salahnya jika kita merencanakan masa depan agar tidak kelabu?

       Tujuh dari sepuluh orang sulit melupakan masa lalu. Bisa jadi lebih sulit dari pada nguras bak mandi pakai sedotan pop ice. Tapi diantara keduanya, sama-sama membutuhkan waktu yang lama.

       Bahkan, beberapa dari mereka---yang sumov alias susah move on---rela mengakhiri hidupnya dikarenakan masa lalunya yang kelam. Se-nekad itukah? Mungkin.

       Bisa jadi---mungkin---mereka tidak memandang ke arah yang lebih jauh, tidak memikirkan bagaimana kedepannya. Kenapa? Karena rasa sakit yang pernah singgah terlalu besar, sehingga pikiran-pikiran positif tidak lagi bisa menutupi rasa yang sudah menguasai seluruh jiwa. Tiada ruang untuk berpikir secara logis. Hati dan perasaan perih, telah merajalela dalam hatinya yang sedang kritis.

       Tidak. Jangan terjadi pada diriku, dirimu dan semua yang masih memahami apa artinya kenyamanan ... kesempurnaan ... cinta ...

       Bisa jadi, dengan masa lalu yang---pernah---kita alami, kita dapat memahami seperti apa hikmahnya dan bagaimana cara supaya kita tidak terperosok ke dalam lubang yang sama.

       Menurutmu, apa itu masa lalu?

💮💮💮

       Kini aku bukanlah seseorang yang sama halnya dengan acar martabak; ada namun dianggap tak ada; martabaknya dimakan habis, namun acarnya terbuang tragis. Aku tampak lebih dihargai, seperti layaknya nasi yang selalu dibutuhkan oleh seluruh manusia yang berprestasi.

       Suasana rumahku kini berisikan penghuni yang berkepala dingin, tidak lagi saling mengasingkan diri. Kudapat wajah-wajah yang berseri-seri seperti orang-orang bodoh yang tak tahu diri. Kagak. Mereka, para keluarga tiri, terlihat bagaikan putra dan putri dari seorang bidadari.

       Enam anggota keluargaku sedang berkumpul di sebuah meja makan minimalis berwarna putih. Lauk untuk sarapan telah tertata rapi di atasnya.

       "Mah, mamah enggak ada niatan buat cari papah baru, gitu?" celetuk Melan, yang sewaktu itu sempat aku klaim, dia adalah seorang siswi yang kurang baik seperti cabe-cabean. "Sekarang, kan, papah udah gak ada. Jadi, mamah berhak buat nyari penggantinya yang jauh jauh jauh lebih baik dari pada Papah Farid."

       Rio menatap Melan tajam---yang aku rasa dia---memberi kode agar Melan tidak bertanya seperti itu.

       Melan menaikkan alisnya mengerti, "Ehm. Ve, gue gak maksud apa-apa, kok. Ya, gue cuma nanya gitu doang sama mamah. Enggak maksud buat nyinggung perasaan lo tentang Papah Farid yang udah gak ada. Emang nyatanya gitu, kan? Papah udah pergi jauh. Kenapa, sih? Gue gak boleh nanya, gitu?"

       "Melan! Jangan kayak gitu! Meskipun kamu gak ada niat buat nyinggung perasaan Ve, tetap aja Ve bakal ngerasa enggak enak sama ucapan kamu itu," mamah Sarah menggeleng kepalanya pelan, kemudian ia mengoleskan selai cokelat kacang kesukaannya, ke atas roti tawar yang telah tersedia di atas piring miliknya.

       Aku tersenyum lebar, selebar jidat Upin dan Ipin, "Hm, gak apa-apa, mah. Lagian kak Melan benar, mamah berhak buat cari papah muda, sebagai penerus bangsa keluarga kita."

To już koniec opublikowanych części.

⏰ Ostatnio Aktualizowane: Oct 05, 2017 ⏰

Dodaj to dzieło do Biblioteki, aby dostawać powiadomienia o nowych częściach!

Pecandu RinduOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz