Chapter 15 - Midnight

117 6 2
                                    

Pertengahan malam tiba

Kesunyian menyerukan diam

Tiada seorangpun menghentikan rasa

Kau tahu apa itu kerinduan?

Tanya hatimu, dia lah pemilik jawabannya

💮💮💮

Kelopak mataku tak bisa di ajak kompromi. Keduanya terbelalak tiada arti, menatap kosong tanpa objek. "Jam dua belas pas." Terbangun tanpa sebab.

Lagi-lagi aku teringat akan keluarga. Ada rasa ingin bertemu dengan mereka tetapi logika ini mengatakan tidak. Hatiku merasa rindu yang kesekian kalinya pada keluarga. "Apakah mereka merindukan aku seperti aku merindukannya?" Tanyaku pada diriku sendiri. "Kurasa tidak."

Walau kebenaran menyatakan bahwa mereka adalah keluarga tiri yang tak pernah menyayangiku, aku akan tetap menerimanya seolah mereka adalah keluarga kandung ku sendiri. "Apakah mereka menerimaku seperti aku menerimanya?" Tanda tanya besar yang menyisakan luka. " ... "

Kebenaran ini akan terus ada dan tidak dapat di rekayasa. Itulah kenyataannya.

Bagaimana pun mereka memperlakukanku, aku akan menerimanya.
Aku tidak peduli jika rasa sayang diantara kami bertepuk sebelah tangan.
Apakah mereka menyayangiku atau tidak, itu adalah urusan mereka.
Yang menjadi urusanku hanya satu, yaitu aku akan selalu menyayangi mereka, walaupun hati ini sempat tertancap duri kesakitan.

Do'a ku akan terus menyertai keluargaku dimanapun mereka berada. "Apakah mereka akan menyertaiku dengan do'a nya seperti aku menyertai mereka dengan do'a ku?" Pertanyaan yang aku buat seperti layaknya boomerang. Aku lah yang melempar pertanyaan tersebut dan pertanyaan itu kembali lagi padaku yang merasakan bagaimana perihnya arti dari beberapa tanda tanya tadi.

"Kak?" Suara kecil mengganggu lamunanku, "Tidak tidur?" Kayla Putri Mahesa, gadis cilik yang menemaniku itu beranjak dari tempat tidur yang berada di sisi kiri ku.

"Ehm ... Kakak terbangun, susah tidur lagi. Kamu kenapa bangun?" Sedikit kaget karena Putri terbangun tanpa sebab akibat.

"Mau 'e'e." Celetuk mulutnya.

Tetesan air penuh arti yang terlanjur membanjiri pipiku kian berubah menjadi tawa. "Hahaha. We-te-ef. Gile lu ndro. Sono cepetan keburu amburadul dilantai ntar."

"Jorok kamu, kak." Dipasangnya paras ketidaksukaan Putri terhadap apa yang aku katakan.

"Elu sih ngapain mau 'e'e segala, kayak manusia aje lu ye." Kepalaku menggeleng pelan seraya melihat tingkahnya mondar-mandir di depan pintu kamar mandi.

Tidak lama kemudian Putri kembali duduk ke atas tempat tidur dengan pandangan mata yang menetap ke arahku dan berkata sambil berjalan. "Oh iya, aku bukan manusia biasa. Kakak aku bilang kalau aku manusia super." Cetusnya.

Dasar bocah. Dia pikir dia itu Super Hero? Atau Super(wo)man? Atau jangan-jangan cuman super-super-an. "Ngekhayal jangan kejauhan, dek. Kalau enggak kesampaian nanti tau rasa."

"Tadi kakak terbangun jam dua belas pas tanpa sebab. Terus kakak nangis-nangisan karena mikirin keluarga." Putri berkata seolah-olah dia yang paling benar.

"Putri kok kamu sotoy terus, sih? Sudah kebiasaan, ya?" Aku mencoba memastikan dirinya tidak benar karena aku tidak ingin dia mengetahui apa yang terjadi padaku tadi.

"Pas aku bangun, kakak kaget terus langsung ngusap air mata tangisnya." Lah, ucapannya benar lagi. Seperti seorang paranormal saja dia.

"Putri ... Apa-apaan?!" Mataku sedikit melotot. Sedikit saja. Kasihan dia anak kecil, takut nangis.

Pecandu RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang