Chapter 4 - Him

175 14 5
                                    

       "Ketawanya lucu," cetus Zero sambil melemparkan senyuman ke arahku.

       'Cowok itu genit ih, so cakep,' gumamku dalam hati.

       "Kak Zero, tolong berikan baju olahraga ini ke Melan. Kami tidak tahu orangnya yang mana. Dia satu kelas denganmu, kan?" cetus Alena bertanya sekaligus menghentikan tatapan genit Zero yang berarah pada senyumanku.

       "Lah? Yang barusan ribut sama kamu itu dia Melan, hahaha," jawab Zero terheran-heran, tapi tertawa.

       Aku dan Jigar ikut tertawa atas apa yang Zero katakan. Alena bungkam karena kesal. Dia tidak mengatakan sepatah katapun selain menggigit jari telunjuknya yang dihiasi kutek berwarna merah kecokelatan.

       "Kak, tolong kasih ini padanya, ya? Kalau kita yang ngasih, takutnya terjadi keributan lagi. Kasihan nanti Kak Melan hidungnya di pencet-pencet lagi sama Alena. Hahaha," aku meledek Alena dengan tertawa. Alena terlihat baikan setelah aku meledeknya.

       "Ve!!! Oke, gua akui sekarang lu bisa meredakan kekesalan gua. Gua gak marah lagi deh," sambung Alena sembari menyentuh pundakku dengan manja. Aku hanya tersenyum.

       "Dilihat dari caranya ngebuat orang jadi gak bete lagi, boleh juga tuh," cetus Zero tanpa pikir panjang.

       "Maksudnya, aku? Kenapa?" tanyaku padanya.

       "Alah Roooo Zero, kalo suka ya bilang aja kaliii" Jigar menyambung pembicaraan.

       "Enggak, maksudnya yaa dia luar biasa gitu bisa ngubah mood temennya, gitu Garrr kamu ini ngomongnya kemana aja ah," kelihatannya Zero tersipu malu-malu gitu, deh.

       "Lah? Tapi kok pipi lo pinky-pinky merona begitu, sih? Hahaha," Jigar terus saja membuat sahabatnya merasa malu.

       "Enggg..."

       Telolet.. telolet.. Lonceng sekolah berbunyi---memotong perkataan Zero yang belum selesai---dengan suara khas-nya yang membahana lebih dari Syahrini. Jam tanganku menunjukkan pukul 10:30AM. Pertanda bahwa bel tadi merupakan bel masuk pelajaran terakhir.

       "Al, ayo cabut!" kataku. Zero, Jigar, Alena dan aku pergi dari tempat kejadian untuk kembali ke habitatnya masing-masing. Iya, ke kelas masing-masing maksudnya.

---

       Jam pelajaran terakhir sudah selesai. Sabtu ini pelajaran matematika oleh Ibu Dinda, guru favoritku. The time's 02:00PM, time to go home.

       Alena melambaikan tangan mungilnya didepan pintu gerbang sekolahan, semacam kode agar aku cepat menghampirinya. Aku dengan dia itu sudah satu paket, seperti mestinya eskrim dengan freezer, enggak bisa dipisahkan.

       "Hey kambing congek! Ayo pulang lah," ujarku seraya membenarkan posisi kacamata hitamku yang mulai tak nyaman.

       "Bentar, gua mau cari orang lewat ah, mau nebeng," cetus Alena tak tahu malu. Iya, dia itu orangnya enggak tahu malu, tapi malu-maluin.

       "Kalian ngapain berdiri depan gerbang begini? Gantiin satpam?" tiba-tiba Zero hadir dengan motor matic-nya, disusul dengan Jigar yang memakai motor yang sama persis.

       "Eh, Kak Zero, kita gak bawa motor. Jadi, boleh kan pulangnya bareng?" semangatnya Alena kalau bicara dengan Zero.

       Zero memutar bola matanya kaget. "Boleh, tuh Alena sama Jigar, ya Gar? Heh kamu yang pake kacamata, ayo naik." kiranya Zero menyuruhku menaiki jok belakang motornya.

Pecandu RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang