9. Alasan pindah.

Start from the beginning
                                    

Genta mengernyit bingung. "Maksud tante?"

***

"Emang tante-tante itu bilang apa?" tanya Ginny sembari menatap Genta yang kini sedang makan dihadapannya.

"Genta, gue nanya masya alloh lo budeg atau kenapa sih." geramnya karena pertanyaannya tadi hanya di anggap angin lalu, bahkan adikknya itu malah fokus dengan opor ayamnya.

Ginny menggebrak meja. "Sumpah ya gue bakal cepetan tua gara-gara lo."

Barulah saat itu Genta menatap Ginny yang wajahnya sudah merah padam. "Gue nggak budeg, gue cuma lagi makan. Kata Mami, makan itu nggak boleh ngobrol supaya kita bisa makan dalam artian bener-bener makan bukan ngobrol." lalu, Genta kembali melahap makanannya menghiraukan tatapan Ginny yang menatapnya sendu.

"Ta, Mami nggak ada disini. Jadi, jangan bawa-bawa dia dalam obrolan kita."

Genta menyelesaikan makanannya cepat, lalu meminum minumannya dalam satu tegukan. Ia menatap Ginny. "Justru, apa yang lo pertanyakan tadi ada hubungannya sama Mami."

"Hah?"

Genta melipat kedua tangannya di atas meja makan, matanya menatap Ginny sedang pikirannya jatuh pada kejadian sore tadi dimana percakapannya dengan Tante Rose. Lalu, ia menceritakan semuanya kepada Ginny.

"Tente sahabat dari Ghina dan Gibran, kedua orangtua kamu. Kami bertiga teman semasa kuliah dulu. Terakhir komunikasi pada saat Ghina undang Tante ke acara pernikahannya, lalu putus komunikasi karena Ghina dan Gibran memutuskan tinggal di Amerika karena Gibran, papi kamu meneruskan pekerjaan Kakek kamu yang ada disana."

"Jadi Mami-Papi..

"Beberapa hari yang lalu setelah bertahun-tahun Ghina kontak tante, dia cerita setelah satu tahun di Amerika dia milih kembali dan menetap di Indonesia karena keadaannya yang sedang hamil pertama, lalu kemudian hamil untuk kedua kalinya. Dia juga sempat tanya dimana tante tinggal, lalu dia bilang katanya ingin tinggal berdekatan dengan Tante. Dan akhirnya karena masalah pekerjaan, Ghina hanya menyuruh kamu dan Ginny pindah rumah didekat Tante."

"Mami cuma ngomong itu doang sama Tante?"

"Enggak, Ghina bilang dia juga akan pulang ke Indonesia untuk ketemu tante."

Genta mengakhiri ceritanya dengan seulas senyum manis terbit di bibirnya. Lalu berkata girang pada Ginny. "Papi-Mami bakal pulang Kak. Gue berharap banget Papi bawa playstation model baru Amerika."

Ginny beranjak dari duduknya, tangannya menggebrak meja. "Ta, Mami sama Papi pulang karena pengen ketemu sama sahabatnya bukan karena kita. Pada akhirnya mereka bakal balik lagi dan ninggalin kita berdua disini, mereka itu jahat Ta. Asal lo tahu, berita ini nggak bikin gue seneng. Karena gue akan lebih senang kalo mereka netap disini sama kita."

Lalu setelah itu Ginny memilih masuk kedalam kamarnya dengan tergesa meninggalkan makanan nya yang hanya ia makan satu sendok saja.

Ginny adalah gadis yang benci kesepian, lebih benci lagi karena kedua orangtua nya membiarkan kesepian itu menyelimuti Ginny. Tidak lebih, yang diinginkan Ginny hanya satu, berkumpul bersama lagi seperti keluarga yang sebenarnya.

Genta tertunduk. "Gue disini sama kesepiannya, tapi gue masih bisa paham. Semua ini mereka lakukan hanya untuk kita, kehidupan kita." Sama halnya dengan Ginny, Genta memilih beranjak bukan untuk ke kamar melainkan keluar rumahnya untuk bermain dengan bola orange di pekarangannya yang luas. Genta menyebutnya, obat penghilang stress.

***

Pacar ❤ : malam pacar❤

Hanny : malam.

Pacar ❤ : hm, ketus😂

Hanny : aku lagi marah ya sama kamu
Hanny : dan harusnya saat ini aku bisa aja pura-pura sibuk nggak balas chat kamu.

Pacar ❤ : marah kok ngomong, lucunya 😊😚
Pacar ❤ : kok masih di balas?
Pacar ❤ : marah kenapa sih kalo aku boleh tau?

Hanny : 😏aku kangen
Hanny : 😈kenapa nyuruh Genta anterin aku pulang, kenapa nggak kamu aja? Atau kamu sengaja lakuin itu?

Pacar ❤ : sama aku juga kangen
Pacar ❤ : aku brifing sama anak basket senior tadi, maaf. Tidur gih Han, udah malem. Besok aku jemput aku punya sesuatu untuk kamu 😘😘

"Payah, mengalihkan pembicaraan." desis Hanny saat membaca pesan terakhir yang Angga kirimkan. Pesan itu hanya ia lihat saja, tanpa berniat untuk membalasnya. Katakanlah Hanny berbohong saat berkata bahwa dia marah pada Angga, dia hanya kesal saja kenapa harus Genta yang harus lolos seleksi menjadi orang yang dipilih mengantarnya oleh Angga. Padahalkan, teman-teman Angga itu bukan sitiang listrik doang.

Hanny duduk di sisi ranjangnya, senyum nya terbit saat mengingat sore tadi. Sore yang ia habiskan bersama Papanya tercinta. Lalu matanya menatap pigura yang terletak di nakas sisi ranjangnya, lantas ia berkata. "Hanny berharap, keluarga kita kumpul seperti dulu lagi. Dimana ada Papah, Mamah dan Hanny yang selalu bersama-sama dengan menghabiskan banyak waktu. Apa kalian nggak sadar, bahwa dunia yang kalian buat berdampak buruk bagi Hanny sekarang?"

Menghela nafas panjang, Hanny memilih membaringkan tubuhnya namun suara pantulan benda membuatnya mengurungkan niat.

Tanpa basa-basi Hanny beranjak dan berjalan ke arah jendelanya. "Jendela tiang listrik udah nutup, terus suara apaan tadi?" katanya bertanya-tanya.

Lalu matanya menyipit kala melihat siluet tubuh Genta di pekarangan rumahnya. Bahkan jam sudah menunjukkan pukul 23:25 malam, tapi Genta malah berlarian kesana-kemari dengan berkali-kali memantulkan bola orange yang di bawa tangannya.

Hanny geleng-geleng kepala. "Bahkan dia nggak nyadar, panggilan idiot yang dia kasih ke gue malah lebih pantes buat dirinya sendiri."

Senyum miring tercetak di bibirnya yang tipis. Iseng, Hanny menjerit lalu menutup jendela kamarnya dengan sigap. Dibalik jendela dia cekikikan dengan tangan menutupi mulutnya sendiri. "Mampus, jeritan gue pasti di sangka setan yang nyungsep ke got."

Sambil cekikikan sendiri Hanny berjalan ke arah tempat tidurnya, lalu berusaha terlelap dengan posisi terbaringnya.

Bersambung....

Sampai ketemu lagi, salam Rintia Anjani.

Feeling✔Where stories live. Discover now