SATU

87 2 0
                                    

Delusi.....

"Skizofrenia. Hanya itu yang dapat saya simpulkan, Airin." Kata seorang wanita cantik dengan name tag Tifa Anindya, M. Psi di dada kirinya.

Airin terpaku. Hening. Ia tak mampu memahami apa yang dikatakan Tifa.

"Ada apa, Airin? Lama tak jumpa, kenapa keadaanmu sekarang seperti ini?" lanjutnya.

Airin mengangkat alis bingung. "Ski...? Apa?"

"Skizofrenia." Jawab Tifa mengulang. "Sudahlah, tak usah pedulikan namanya. Sekarang, saya mau tau dulu apa yang terjadi dengan kamu belakangan ini?"

Airin menggeleng. Masih tak mengerti. "Tapi... skizo...nia itu apa?"

"Skizofrenia adalah gangguan delusi. Itu yang sedang terjadi kepadamu." Jawab Tifa pada akhirnya hingga Airin ber-oh ria di mulutnya.

"Nah, sekarang, ceritakan apa yang terjadi dengan kamu belakangan ini, Airin?" tanya Tifa mengulang sampai berkali-kali.

Airin diam. Ia tak tau hendak bercerita darimana.

"Airin?" panggil Tifa kepada Airin karena pikiran Airin terlihat kosong.

"Hm... tahun kemarin... orang tua saya cerai. Tepat saat ketuk palu perceraian orang tua saya, saya putus dengan Gerry." Jawab Airin pada akhirnya.

Tatapan Tifa mulai empati. Ia menunggu kelanjutan cerita Airin.

"Terus.... Saya mulai buka hati lagi, tapi... bulan kemarin.... Saya... saya diputusin." Lanjut Airin pilu. Tatapannya kembali kosong dan sangat terlihat luka baru di mata Airin. Ia tak bisa menangani lukanya sendiri.

Tifa pun mengangguk dan menghampiri Airin untuk memeluknya.

"Sabar ya... saya turut sedih mendengar perceraian orang tua kamu." Kata Tifa membuka suara.

Airin mengangguk. Menggigit bibir mulai menahan tangis yang tak bisa ia keluarkan.

"Nangis aja, Airin. Saya tau banyak yang ketahan di dalam diri kamu." Kata Tifa lagi.

Airin menggeleng. Tidak bisa. Ia tidak bisa menangis. Ini udah kesekian kalinya ia mati rasa. Ini udah kesekian kalinya ia tak mampu mengenali apa yang ia rasakan. Airin tau dirinya sedih, tapi ia sama sekali tak bisa menangis. Ia tak bisa mengenali bentuk emosi yang terjadi pada dirinya sendiri.

Airin mulai menunduk. Menghindari tatapan kekhawatiran dari Tifa.

"Yasudah.. ada lagi yang mau kamu ceritain? Saya gak maksa kok."

Airin masih menunduk. Tifa dapat melihat delusi itu mulai menguasai Airin lagi.

Hening. Hanya hening karena Airin tak bisa menceritakan keadaannya. Keheningan yang cukup mencekam di ruang konsul yang biasanya hanya diisi oleh anak-anak nakal semasa sekolah.

Hingga akhirnya, Airin pun bersuara. "Kenapa... kenapa saya diputusin, Bu?"

"Saya cinta sama Davi. Saya tau Davi juga mencintai saya. Tapi.... Kenapa? Kenapa cuma enam bulan tapi sakitnya berpuluh kali lipat dari putus sama Gerry, Bu?" lanjut Airin dengan frustasi.

Tifa tak bergeming. Menunggu lanjutan cerita Airin, tapi ia kembali bungkam menggigit bibir. Airin sungguh kacau.

"Itu karena kamu udah anggap Gerry sebagai sahabat kamu, Ai. Beda sama Davi yang bener-bener kamu anggap sebagai pasangan." Jawabnya sambil menggenggam tangan Airin erat.

Airin kembali mengangguk. Tatapannya kosong.

"Airin, jangan melamun. Lawan delusi itu." kata Tifa pada akhirnya.

S K I L O V R E N I AWhere stories live. Discover now