"Hm?" timpal Airin linglung.

"Lawan delusi itu, Airin." Kata Tifa mengulang.

"Delusi apa?"

Tifa menghela napas.

"Pokoknya jangan melamun ya, Airin. Perhatiin sekitar. Jangan biarin diri kamu dikuasai delusi itu." kata Tifa.

Airin mengangguk.

"Udah ya. Sekarang, buat Davi menyesal karena udah mutusin kamu. Jangan sekacau ini lagi ya, Airin. Airin yang saya kenal itu fashionable. Kenapa sekarang cuma abu-abu dan hitam? Jangan terlihat berduka gitu ah." Lanjut Tifa lagi.

Airin tersenyum kikuk. Berharap Tifa menganggapnya baik-baik saja. Namun tetap saja ia tak bisa membohongi dirinya sendiri. Pikirannya masih tak disini. Hatinya belum melupakan Davi.

"Iya, Bu." Jawab Airin singkat.

Tiba-tiba mendadak ada sesuatu di dada Airin yang terasa besar dan berat sekali. Ia tak tau apa itu, ia tak tau apa benda di dalam dadanya. Yang ia tau hanyalah, ia tak kuasa menahannya. Dan ia ingin pulang.

Iya, Airin hanya ingin pulang. Ia ingin sendirian. Ia tak ingin disini. Tak ada yang ingin dia disini. Seakan-akan dunia menolaknya. Seakan-akan dunia mengusirnya.

"Hmm.. Bu, saya pamit pulang ya. Kapan-kapan saya kesini lagi." pamit Airin tiba-tiba.

"Oh? Iya... banyak-banyak nonton MV Korea ya! Dulu kan kamu suka joget-joget ala Korea, Ai!" kata Tifa ceria mencoba meningkatkan mood Airin.

Namun, yang diajak bicara hanya mengangguk sekenanya dan berjalan keluar ruangan dengan tatapan kosong tanpa gairah.

***

Tin tin!!!!

Klakson mobil truk tiba-tiba berbunyi saat Airin menyebrang jalan. Airin tak lihat-lihat memang. Ia tak menengok ke kanan ataupun ke kiri sebelum menyebrang.

Tidak, bukannya ia bermaksud mengakhiri hidupnya. Ia hanya tak tau apa yang ia rasakan. Ia hanya membiarkan kakinya melangkah. Ia hanya membiarkan kepalanya dipenuhi kekosongan tanpa gairah.

"Woy, Mbak, kalo nyebrang tuh liat-liat dong! Saya gak mau tanggung jawab ya kalo situ kenapa-kenapa!" kata pengendara truk itu marah-marah kepada Airin.

Airin pun hanya mengangguk. Sebetulnya ia tak tau apa yang dikatakan pengendara truk itu. Yang jelas, barusan ia hampir terserempet truk. Tapi anehnya, itu sama sekali tak membuatnya takut ataupun gemetar.

Baginya, kehilangan Davi jauh lebih membuatnya dunianya gemetar.

Airin terus berjalan dengan tatapan kosong. Berjalan lurus ke depan tanpa menoleh hingga ia tau bahwa tempat ia berdiri saat ini adalah rumahnya.

Ponsel Airin sejak perjalanan tadi terus berdering. Bukannya tak dengar, Airin hanya tak ingin mengangkat ponsel itu. Bahkan sampai dering ke tiga puluh tujuh masih juga tak Airin gubris.

Airin melangkahkan kaki ke rumahnya dengan gontai. Membuka gerbang hingga ke pintu utama. Namun yang ia dapati hanya rumah yang kosong seperti hatinya.

Hampa.

Hanya suasana seperti itu yang Airin rasakan di rumahnya. Yah, kalau dipikir-pikir lagi, gimana Airin bisa sembuh kalau keadaan rumahnya sama sekali tak mendukungnya?

Kakaknya Moura sibuk terbang sebagai pramugari. Ibunya yang diplomat sibuk bolak-balik ke Amerika.

Ayahnya memang di Indonesia. Tapi jauh di Surabaya. Lebih memilih bertahan di kampung halamannya sebagai dokter pengabdi terbaik disana.

S K I L O V R E N I AWhere stories live. Discover now