part 9 - Perang Dingin_Dinda

4.9K 272 1
                                    

Setelah berbincang dengan bunda. Aku menuruti kata kata bunda yaitu berbicara kepada Arsyaf dengan kepala dingin. Ya dan insyaallah aja kalo gak berantem. Dan sekarang aku sedang duduk di sebuah kafe bersama Arsyaf.

Jujur sebenarnya masih ada rasa kesal kepada dia. Seenak jidat dia membuang gaun yang aku impikan. Ah ya aku belum bilang kalo aku kesini karena dia yang tiba tiba besoknya datang ke rumah dan membawaku kesini.

"Din." panggilnya. Aku masih memalingkan wajahku.

"Din maaf dong," katanya lagi sambil menggenggam tanganku. Dan saat itupun aku langsung menarik tanganku.

"Aku maafin tapi..."

"Apa?" Ucapnya langsung saat aku belum selesai bicara.

"Ish sabar aku belum selesai ngomong ish nyebelin banget," ucapku tanpa sadar aku memonyongkan bibirku dan itu membuatnya tersenyum

"Yaudah syaratnya apa sayang." bom ucapnya membuatku blushing. Ini udah keberapa kalinya dia membuatku blushing saat aku sedang kesal.

"Gausah panggil sayang kalo masih gak mau ngalah sama aku."

"Yaudah terserah kamu," ucapnya dengan datar. Sebenarnya dia niat baikan gak sih. Gak asik banget.

"Ar! Kamu tau kan aku suka banget sama bollywood, masa kamu tega sih gak ngizinin aku pakai gaun sari di resepsi kita. Lagian kan kita pake gaungnya yg itu waktunya siang jadi gak papa yah? Ar kamu kan tau ini impian aku dan gak mungkinkan kalo aku sampai ngadai acara pernikahan sampai dua kali. Emangnya kamu mau..." ucapanku terhenti saat jari telunjuknya mendarat di bibirku. Aku dengan reflek memundurkan wajahku.

"Ok aku setuju tapi..."

"Harus ada tapinya gitu?"

"Iya."

"Ih gak asih banget sih, yaudah lah mending gausah dari pada kamu gak ikhlas. "

"Tuh tau aku gak ikhlas," ucapnya tanpaku balas. Udah gak ada gunanya juga jelasin bagaimanapun. Arsyaf ya Arsyaf dengan segala kekeras kepalaannya.

Akhirnya aku diam, dia menatapku lekat mungkin dia merasa aneh kenapa aku mungkin tiba tiba diam. Jujur saja aku diam karena sudah sekuat tenaga menahan air mata kekesalan.

"Yaudahlah cepet mending cari souvenir," ucapku bangkit dari duduk dan kemudian lebih dulu meninggalkannya. Lalu Arsyaf mengikutiku dari belakang.

Selama di perjalanan aku masih diam dan bicara hanya seperluanya. Aku memang gitu kalo lagi kesel sama orang aku cuekin orangnya. Ya walaupun masih mau bicara sih sekata dua kata mah cincai lah.

Sesampainya di toko khusus souvenir atau semacam cendramata aku dan Arsyaf langsung masuk kedalam toki tersebut.

"Permisi, Mba saya mau cari souvenir pernikahan." itu suara Arsyaf yang bertanya kepada mba pelayan.

"Oh sebelah sana mas." tunjuk mba pelayan.

"Makasih mba," ucap Arsyaf, lalu mba pelayan itu mengangguk.

Aku dan Arsyaf melihat lihat souvenir yang cocok untuk di pernikahan kita. Sebenarnya disini yang lebih aktif ya Arsyaf aku hanya diam memandang suatu barang yang dari tadi membuat aku tertarik.

Biarkan saja Arsyaf kelimpungan milih. Mending aku diam dari pada nanti berantem lagi kan, kata bunda aku yang harus ngalah. Ok udah aku lakuin bun kalo nanti dia gak mau ngalah juga awas aja.

"Din ini bagus gak?" Tanyanya kepadaku sambil menunjukan gelas yang bertulis tanggal pernikahan dan gambar foto pengantin.  Aku mengangkat bahu.

"Bagus," ucapku

"Ini aja ya? Tapi ini khusus buat temen kita nanti buat undangan mama sama papa bedain," ucapnya membuatku menganggukan kepala.

"Hm, terserah kamu lah. Orang ini pernikahan kamu, jadi terserah yang mau nikah aja bagaimana."sindirku kejam biarin aja udah sampai ubun ubun tingkat kekesalanku. Dia menatapku bingung.

"Eh kok ngomongnya gitu?" Tanya dia dengan wajah sok polosnya. Heh menyebalkan.

"Emang gitu kan? Dari awal juga semuanya rencana kamu percuma aku milih juga ujung ujungnya keputusan kamu. Ngapain nanya kalo ujung ujungnya ngambil keputusan sendiri. Gak guna banget." sindirku tanpa mau melihat kearahnya. Dia menatapku dingin. Bodo amat, aku langsung saja menuju kasih dan mengambil barang yang aku mau untuk di pajang dikamarku lalu membayarnya.

Namun belum sempat aku membayar sebuah tangan menyodorkan kartu berwarna gold.

"Pakai ini aja mba," ucapnya tanpa menatapku. Aku juga enggan menatapnya sumpek rasanya aku langsung keluar. Dan dia sedang membayar pesanan souvenir untuk pernikahan dia. Dia bukan aku. Tapi nikahnya sama aku huhu.

Setelah melihat arsyaf keluar dari toko dan masuk ke mobil aku mengikutinya tanpa​ sepatah katapun. Selama di perjalanan kami hanya diam tanpa saling bicara ataupun sekedar sapa. Enggan aku sudah kesal banget pingin nampol rasanya. Itulah Arsyaf dengan sejuta kekeras kepalaaanya. Dan ini lah aku dengan sejuta ambekanku.

Sesampainya di depan rumahku aku langsung turun tanpa bicara apapun dan Arsyaf pun ikut turun. Mau ngapain sih dia.

"Eh kalian udah pulang?" Tanya bunda yang ku balas anggukan, tanpa bertanya lagi aku langsung masuk ke kamar. Bodo amat dengan Arsyaf.

Sesampai di kamar air mataku langsung turun. Yang dari tadi ku tahan langsung mengalir deras sampai aku segsegan. Astagfirullah aku beristigfar berulang kali mencoba menenangkan hatiku yang kesal. Ini Din yang seharusnya gak di semogakan. Dan yang di semogakan malah gini. Udah tau sifatnya Arsyaf emang begitu tapi aku masih saja mencintai dia. Egois, keras kepala, kalo ngomong nyakitin, uh nyebelin banget dasar manusia gak punya hati.

Jeng jeng nungguin gak? Gak ya yaudah

1 || Kau Yang Aku Semogakan (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang