Satu: 10 tahun kemudian

Mulai dari awal
                                    

"Okay, call 911 now." Lanjutnya, kembali lemas di tanah.

"Dasar bodoh. Kau cuma perlu perban dan betadine. Bukannya polisi." Tegur Matt. "Ayo ke ruang kesehatan."

Kemudian, dua orang itu mengajak Addo ke ruang kesehatan.

Luka itu tidak terlalu buruk setelah mendapat pengobatan dan diperban oleh suster sekolah. Namun luka itu baru menjadi masalah begitu Addo sampai di rumah nantinya. Patricia, ibunya, awalnya bertanya dengan panik kenapa dia bisa sampai pulang dengan kepala diperban. Seorang kepala sekolah memiliki kesibukannya sendiri sehingga tidak selalu bisa menonton pertandingan bisbol anak-anak. Maka dengan terpaksa Addo menceritakan kejadiannya, yang berujung pada ceramah super panjang serta hukuman untuk tidak boleh bermain bisbol lagi. Addo sendiri sama sekali tidak keberatan. Lagipula kelihatannya peruntungannya di dunia bisbol sudah mencapai kadaluarsa.

Begitulah keseharian seorang Addo Chance. Biasa. Tidak menarik. Pecundang. Dia benci kata yang terakhir itu, tapi setelah dipikir-pikir lagi, mungkin ada benarnya juga. Addo tidak jarang merasa kalau dirinya memang pecundang.

Besoknya, ketika jam istirahat makan siang di sekolah, Percy dan Logan bergabung di meja yang sama dengannya, Matt dan Alice. Percy dan Logan adalah dua teman Addo yang lain, dan hanya untuk sekedar informasi bahwa kami berlima sekelas. Menurutmu keren tidak? Tidak? Ya sudah.

Satu lagi hal yang lucu dari Percy dan Logan adalah, mereka kerap mengingatkan Addo pada tokoh"Percy" Jackson yang diperankan oleh "Logan" Lerman. Padahal, nama asli Percy adalah Percy Skylar sedangkan Logan adalah Logan Anderson.

"Wow, perban yang bagus, Addo." Kata Percy.

"Thanks" jawabnya pendek, masih tidak berniat membahas perban bodoh ini.

"Boleh aku menandatanganinya?" tanya Logan kali ini

"Dasar dungu." Gerutu Alice ke Logan, kemudian dia pergi ke meja lain. Logan menatapnya keheranan, begitu juga ketiga pria yang lain.

"Hei Chance, kenapa sih temanmu itu?" tanyanya. Addo mengangkat bahu. "Mana kutahu."

Kemudian raut wajah Logan berubah jadi sedikit frustasi campur sedih. "Aku sudah berusaha mendekatinya sejak kelas 3, tapi sampai sekarang..."

"Ayolah, jangan putus asa begitu. Masih ada banyak 'Alice' lain di dunia." Potong Matt sok bijak sambil menepuk pundak Logan.

"Tapi hanya ada satu Alice dari wonderland," iris mata hijaunya masih menatap kursi kosong yang tadi diduduki oleh Alice sebelum dia dan Percy datang. "Hah, seandainya aku setampan kau, Addo."

Sontak, kata-kata Logan membuatnya tersedak. Untung Percy dengan sigap memberikannya minum.

"What the hell?" Addo memandangi temannya seolah-olah dia punya dua kepala. "Lagipula lihat aku! Cuma ibuku yang bilang aku tampan, oke, dan aku penyandang gelar orang terpayah dalam buku tahunan. Addo Chance, semua orang kenal aku dan kepayahanku." dia menunjuk perban yang melingkar dikepalanya ketika mengatakan 'kepayahannya'. "Semua ucapanmu tadi omong kosong."

Sambil menggaruk-garuk rambut hitam lurusnya, Percy angkat bicara, "Mungkin Logan hanya mau bilang kalau—"

"Cukup Percy, lebih baik mari kita lupakan saja," potong Logan. "Lupakan saja apa yang kukatakan tadi, Do." Addo mengangguk mengiyakan. Percy juga tidak membantah, melainkan mengendikkan bahu seraya berkata, "Sorry". Kemudian, mereka berempat melanjutkan makan tanpa bicara apapun lagi.

Addo sudah mengatakannya, ya kan? Teman-temannya payah dan kadang-kadang aneh. Hidupnya tidak menarik. Addo bukanlah tipe orang yang akan menghabiskan malam akhir pekan dengan keluyuran atau berpesta, tapi dia juga bukan anak jenius yang mendapatkan A pada semua mata pelajaran atau menjadi bintang di kelas olahraga. Bahkan dirinya sendiri pun kadangkala sama menyebalkannya seperti tiga lelaki yang duduk bersamanya saat itu di meja makan kantin.

***

Krriingggg!!! Kriiingg!!!!

Mrs. Oliv meletakkan spidol yang sedari tadi dia pakai kembali keatas meja guru begitu mendengar bunyi bel tanda pelajaran usai. Addo mengecek jam tangannya. Sudah jam 2 sore. Waktunya untuk pulang ke rumah.

"Baiklah anak-anak, pelajaran saya cukupkan sampai disini. Ingat kerjakan tugas kalian yang tadi. Minggu depan kita akan ulangan"—deretan anak yang duduk dibangku belakang spontan mengerang ketika mendengar kata "Ulangan"—"Good afternoon, everyone!"

"Good afternoon, Ma'am!" sahut semua orang dikelas. Mrs. Oliv mengambil buku-bukunya lalu berjalan meninggalkan kelas. Sedetik setelah guru IPA itu pergi, suasana kelas langsung berubah riuh. Mereka langsung diam begitu melihat Jason Gordon Si Bongsor dan teman-teman geng bully-nya meninggalkan kelas sambil menyeret Will Hart—seorang kutubuku ceking dan culun yang nasibnya sial kala itu sebab menjadi korban Jason. Will memang sering menjadi korban bully, terutama dari Jason dan kawan-kawannya.

Satu lagi bagian buruk dalam catatan kehidupan sekolah Addo : bully. Dia, tentunya, pernah di bully.

Seorang lelaki yang duduk disamping Addo kala itu, bernama Austin Goot, tiba-tiba berseru, "Hei Jason, lepaskan Will!" namun sayangnya Jason sudah pergi lebih dulu. "Addo, kita harus melakukan sesuatu!" kata Austin selanjutnya padaku.

"Kenapa harus aku?" Addo balik bertanya.

"Ya... soalnya aku tidak tahu mau mengajak siapa selain kau, hehe." jawab Austin, sikapnya yang isi cengegesan membuat Addo ragu akan tingkat keseriusannya ingin menolong Will. Austin memang begitu orangnya, terlalu spontan, tidak pernah berpikir baik-baik sebelum bertindak.  Saking spontannya, dia menjadi orang yang paling gegabah. "Ayo kita tolong Willy!" ulangnya.

Austin hendak menarik tangannya, namun dia lebih dulu mundur satu langkah kebelakang, menjauhinya.

"Tidak Austin, tidak! Bukannya aku jahat pada Will, tapi kurasa kita sia-sia saja mencoba menolongnya."

"Kenapa begitu?"

"Aku tidak mau menambah perban lagi Austin. Aku serius. Cukup satu perban dikepalaku ini saja. Lagipula, gara-gara bully itu..." dia tidak meneruskan ucapannya. Addo tiba-tiba teringat dengan ayahnya, sebab dia tahu garis besar kejadian hari itu. Meskipun ibunya berusaha menyembunyikannya rapat-rapat, sayangnya Addo sudah terlanjur tahu. Sudah berbulan-bulan berlalu saat dia mengetahui berita itu akan tetapi sampai sekarang dia masih merasa pilu disetiap kali mengingatnya. 

"Addo!" Austin berseru lagi, menyadarkannya dari lamunan. Addo cuma menatapnya tanpa menyahut.

"Ayolah Do, please! Seseorang harus menolong Will atau--"

"Sia-sia saja kau membujuknya, Goot," sahut Percy yang duduk dibelakangnya. Dia dan Logan rupanya mendengar semua percakapan tadi. "Seandainya ayahmu meninggal karena sesuatu, kau tidak akan mau mengingat-ingat alasan kematiannya, kan?"

Addo merasa jantungnya mencelus jauh ke bawah seketika.

"Aku berani bertaruh lima bucks," kata Logan. "Sepakat," Percy menjabat tangannya.

"Persetan kalian semua." Addo langsung mengambil tasnya dan pergi meninggalkan mereka semua. Masa bodoh dengan mereka, pikirnya. []

Father For Addo -g.c (Addo Series #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang