2.3

9 0 0
                                    


BUTIR SALJU TERUS berjatuhan sesuai hukum gravitasi bumi. Hembusan bersuhu rendah tak henti-hentinya berusaha menelusup ke sekujur tubuhku. Kudekap tubuhku lebih erat sembari berejalan. Aku tak lagi berjalan cepat, sebab tubuh ini terlalu lemah untuk mengikuti kemauanku. Sebuah toko pernak-pernik --yang tutup-- di sudut kanan jalan menjadi pertanda bahwa aku telah berjalan sejauh satu kilometer. Masih ada tiga kilometer untuk sampai ke pelabuhan.

Astaga! Ini baru satu kilometer, Ath!

Yah, sudah kubilang untuk kembali ke rumah Micah atau ke kantor polisi. Tapi kau menolak. Jadi inilah konsekuensinya.

Berisik! Asal kau tahu, aku akan tetap berjalan. Lagi pula, tiga kilometer tidak sejauh itu.

Terserah saja. Sahut Athena dingin. Ia jelas tak suka dengan keputusanku. Tapi mau bagaimana? Kematian Rachel harus terbalaskan.

Seandainya kau sampai di pelabuhan nanti, dengan apa kau naik? Memang kau punya uang?

Persetan. Aku tak tahu caranya. Yang jelas aku harus menemui Charlotte entah bagaimana.

Dasar gegabah.

Bisakah kau diam? Kau mengganggu.

Aku akan tetap mengawasi.

Aku tak menggubrisnya dan masih berjalan melewati tebalnya salju yang kupijak. Meninggalkan jejak-jejak sepatu kecil.

Satu kilometer sudah terlewati lagi. Sekarang tersisa dua kilometer. Energiku telah terkuras untuk menghangatkan fisikku. Sebagai gantinya, tubuhku meminta asupan tenaga ekstra demi menjaga stabilitas kesehatan jasmaniku. Sialnya, aku bukan hanya lapar, melainkan juga haus dan kelelahan.

Semakin lama kuberjalan, semakin cepat pula tenaga yang terkuras. Sampai akhirnya aku merasa sudah di ambang batas pertahananku. Jadi kuputuskan untuk beristirahat sejenak di bawah kedai makan yang masih tutup. Aku meringkuk sendirian di bawah terpal kedai ini, melihat pemandangan serba putih yang membosankan. Terkadang aku menggosok kedua tangan ke tubuhku agar kehangatan menjalar. Memang percuma rasanya, sebab kehangatan itu hanya berlangsung begitu singkat.

Hal ini mengingatkanku tentang dongeng gadis korek api. Seorang gadis yang terus menyalakan korek api agar ia bisa melihat proyeksi berbagai hal menyenangkan melalui cahaya api. Lalu ia meninggal dengan tenang dalam dinginnya salju dan bertemu neneknya. Barangkali gadis itu lebih beruntung dariku. Setidaknya ia tak melihat ibunya mati dibunuh ayahnya sendiri. Setidaknya ia masih memiliki korek api untuk melihat delusi. Bahkan bisa meninggal dengan tenang.

Zei! Athena mendadak muncul. Ah, dia menyebalkan.

Kau bisa hipotermia kalau tak mau bergerak atau tak ada yang menolongmu!

R E T R O G R E S IWhere stories live. Discover now