2.1

18 0 0
                                    

•°• Makhluk itu sungguh membuat ritme jantungku semakin meningkat bagai bom waktu yang akan meledak •°•

*

Efek Traumatis

ALERT !! GORE CONTENT

[RETROGRESI TAHUN KETUJUH]

[ }{ ]

SEORANG WANITA TUA sedang menangis di hadapanku. Aku memang sudah lama bersikap apatis dengannya. Namun entah kenapa, kala itu aku benar-benar tak bisa menipu diriku sendiri. Aku terlampau peduli dengan Rachel. Kuarahkan jari jemari ke wajahnya, merasakan betapa nyata tekstur kulit seseorang yang kusentuh. Betapa nyata epidermis basah karena bulir air mata yang dibuatnya.

Aku terperanjat begitu menyeka air matanya. Tangisa berubah menjadi darah bersamaan dengan matanya yang berputar 180°, hingga albuginea meleleh berpadu dengan tangisan. Kabut hitam pekat keluar dari lubang matanya.

Hembusan angin malam membisikkan melodi kelam kepadaku. Membuat tidurku tak tenang. Dentuman abstrak bervolume keras memenuhi kepalaku. Aku tahu aku sedang bermimpi. Maka, kupaksakan diri untuk bangun sebelum malaikat maut datang menjemput.

*

Aku langsung bangun terduduk dengan keringat berlimpah. Bahkan di hari yang sedingin ini suhu tubuh bisa naik. Sedangkan jantung berdetak tak sesuai dengan tempo normal. Aku meremas kepala seraya melempar selimut tebal ke lantai.

Beruntung aku bisa terbangun dari lucid dream semacam ini. Untuk kesekian kalinya.

Tapi tetap saja. Apa-apaan ini?! Mimpi buruk di malam natal?! Aneh.

Kupejamkan mata sesaat untuk menenangkan reaksi tubuh yang berlebihan terhadap mimpi buruk. Mencoba menyugesti diriku sendiri dengan serangkaian kalimat bodoh seperti 'semua baik-baik saja' atau 'ini hanyalah mimpi buruk'.

Baru kemudian aku membuka mata lebar-lebar dan melihat sekeliling. Sebuah lampu tidur yang menyala. Televisi LED. Rak buku mungil. Lemari besar bergaya retro. Ini memang kamar tamu di rumah Micah.

Bagus. Aku yakin sudah benar-benar bangun di dunia nyata.

Sialnya, aku jadi tak bisa tidur walau mencoba untuk kesekian kalinya. Maka aku berencana untuk menyalakan saklar lampu --bukan lampu tidur-- dan mengambil buku di rak itu. Sebelum menyalakan saklar lampu, aku merasa mendengar sesuatu dari jendela. Jadi aku melangkah ke arah jendela dengan ragu. Kusingkap tirainya sedikit, untuk berjumpa dengan rumahku yang hanya berjarak 20 meter dari tempatku berdiri. Hanya ada satu ruangan yang menyala terang benderang. Kuyakin itu kamar Rachel. Ruang itu hanya menyala dan tampak wajar. Barangkali Rachel sedang minum alkohol atau menyayat lengannya.

Sebab pernah pada suatu tengah malam, aku terbangun mendengar tawa aneh Rachel. Begitu kubuka pintu kamarnya, ia tertangkap basah hampir melukai lengannya. Kemudian menangis sejadi-jadinya dan meminta maaf padaku. Sedangkan aku hanya membisu dan mengambil paku yang ada di tangannya. Meninggalkannya menangis seorang diri di kamarnya. Bahkan aku masih bisa mendengar sesenggukannya dari kamarku. Begitu tak mendengar sesuatu yang tak mencurigakan, aku langsung mengendap ke kamarnya untuk sekadar mengecek. Rachel tertidur pulas. Aku menghembuskan nafas lega. Memang sulit menjadi apatis sepenuhnya dengan Rachel. Lagi pula aku juga penasaran dengan apa yang orang gila itu lakukan.

R E T R O G R E S IOnde histórias criam vida. Descubra agora