1.7

16 2 0
                                    


•°• Agaknya otak rasionalnya terjebak di tubuh anak lelaki •°•

Failure Prognostic

Kegagalan Prognosis

[RETROGRESI TAHUN KETUJUH]

[ }{ ]

Amazing grace
How sweet the sound
That saved a wretch like me

Aku bersenandung seraya menghangatkan diri di depan perapian. Pandangan sayu terpaku pada elemen api yang menari di atas kayu. Berbagai suara kembali timbul dalam otakku. Kupejamkan mata sesaat. Mencoba menetralisir emosi dan pikiran.

Sel otakku yang berpikir positif dan realistis sedang berdebat dengan sel otak pesimistik dan dramatis. Aku harus menengahi mereka. Inti perdebatan mereka hanyalah seputar lingkup keluarga Zephanniah. Jujur itu membosankan dan membuatku lelah mendengarkannya.

Biar bagaimanapun, mereka hanyalah serpihan fantasi dalam bayang imajiner. Aku harus bisa menenangkan mereka.

Beberapa detik kemudian aku membuka mata. Menjumpai gas panas berwarna merah, cukup membuatku tenang. Walau kepalaku masih pening, namun setidaknya mereka tak berdebat lagi.

Saat kurasa ada seseorang yang berjalan mendekat, pandanganku langsung mengedar. Sepasang mata sedang memandangku sambil membawa dua gelas berisi cokelat panas dengan uap mengepul. Begitu mendekat, ia menyodorkan cokelat untukku.

"Terima kasih," ucapku pada Micah.

Tetesan air surga segera kurasakan begitu menyesapnya. Ini adalah salah satu cokelat terlezat yang pernah kuminum. Sementara itu, Micah sedang membaca artikel dari ponsel pintarnya.

Aku beranjak seraya meletakkan gelas di meja dekat perapian. Mataku melihat sekeliling, dihadapkan oleh rumah nyaman dengan desain interior modern. Tiga kursi tamu berbahan beludru. Karpet merah yang terbentang memenuhi sepertiga ruang tamu luas.

Sebuah pohon natal besar di dekat perapian menarik perhatianku sesaat. Mengingat besok adalah hari Natal.

Aku berjalan dengan langkah besar ke rak buku koleksi kepunyaan Micah.

Meteorologi dan Geofisika Umum. Sang Kritikus Sastra. Astronomi. Rekam Medis berbasis Para Ahli. Cerpen pilihan. Judul buku yang kukira tak sesuai dengan suasana hati. Terkadang aku heran dengan buku koleksi Micah yang rata-rata berisikan rentetan tulisan rumit. Kurasa ia terobsesi menjadi dewasa sebelum umurnya. Lagi pula aku yakin ia tak sepenuhnya mengerti tentang semua isi buku itu. Sebab pasti ada kalanya tulisan itu menyampaikan pemikiran para ahli yang sulit ditelaah oleh anak lelaki berusia 13 tahun itu. Kecuali bila ia cukup jenius. Masalahnya di mataku, ia tetaplah anak dalam masa pertumbuhan fisik dan mental.

Akhirnya pilihanku jatuh pada buku tipis bertema fantasi. Kuambil buku itu dan kembali lagi ke depan perapian.

Begitu aku membaca dua halaman buku yang berisi narasi, aku bagaikan berada di dimensi lain. Menenggelamkan diri dalam delusi, sering menjadi penyaluran emosi yang pas untukku. Salah satunya dengan membaca buku.

Setelah puluhan menit berlalu, suara lembut layaknya malaikat membangunkanku dari dunia fiksi.

"Kuenya baru saja matang!" Kami langsung menghampiri sumber aroma jahe dan memakannya setelah meniupnya.

Pembuat kue lezat ini adalah ibunya Micah yang cantik seperti model. Rambutnya pirang dengan bola mata kebiruan. Memberiku bayangan tentang ciri-ciri orang nordik.

Percakapan ringan dan tawa lepas pun ada selagi kami menghabiskan kue. Baru kemudian aku diantar wanita itu ke kamar tamu, sedangkan Micah tentu beristirahat di kamar privasinya.
Kutarik selimut dan kupejamkan mata. Sesekali aku tersenyum begitu mengingat perbincangan konyol tadi. Kami membicarakan tentang sosok santa claus. Seorang yang dikenal dengan tubuh gempal juga tawa khasnya.

Mrs. Costaze berharap agar Santa tak tersangkut di tengah peluncurannya nanti. Sebab cerobong asap Micah memang terbilang sempit. Lalu aku menambahkan kalau ia memang harus diet.

Sementara Micah hanya menggeleng seraya tersenyum canggung. Agaknya otak rasionalnya terjebak di tubuh anak lelaki. Ia enggan mengeluarkan sisi kanak-kanaknya saat itu. Namun tak apa. Itu sudah terlampau biasa bagiku.

Mrs. Costaze memang memiliki segudang bahasan aneh. Bahkan ia juga mengaku pernah mencoba menangkap Santa Claus sewaktu kecil. Namun ternyata ia hanyut dalam mimpi. Tertidur lelap di depan perapian. Sewaktu mendengar langkah kaki, ia membuka kelopak matanya sedikit dan menemukan sosok pria sedang menaruh bungkusan di bawah pohon natal. Ia pun langsung berkata "aku tahu itu kau, Ayah!"

Mrs. Costaze menyarankan pada kami agar jangan mau dibodohi orang dewasa. Tawa pecah kembali terjadi begitu ia mulai melawak lagi dengan ekspresi khasnya. Bahkan Micah akhirnya ikut tertawa juga. Ekspresi tertawanya begitu menggemaskan seperti bayi.

Dan kini, aku kembali tersenyum geli sambil tetap memejamkan mata. Untuk kemudian tidur dengan pulasnya.

Mulanya aku mengira hari itu bisa kunobatkan menjadi malam natal terbaik. Aku tak pernah menyangka prognosisku gagal total.

Malam natal itu adalah yang terburuk. Terlalu suram sampai membuatku trauma. Terlalu pekat sampai membuatku nyaris memasukkan satu jarum penuh ke dalam jari tengahku.

Aku tahu banyak orang berpikir kalau aku tak bisa lagi disebut normal. Dan aku setuju dengan --siapapun-- mereka.

***

Kupikir kalau aku menceritakannya sekarang, bisa saja trauma dalam diri Zei akan meningkat. Atau amygdalanya mungkin menyempit atau rusak. Aku jelas tak ingin kalau beberapa sistem otaknya mengalami atrofi.

Sekarang saja aku sudah membuat kepalanya serasa tertusuk-tusuk karena hampir mengingat kejadian terpahit dalam hidupnya.

Jadi sudah kuputuskan untuk menyambung cerita ini di lain kesempatan. Saat di mana ia berhasil menemukan jalan keluar dari labirin retrogresinya sendiri.

Aku jelas tak tahu kapan, karena aku bukanlah peramal. Melainkan sebatas kumpulan neuron Zei yang berkolaborasi untuk memberitahumu sepintas tentang kisah hidupnya.

Tapi mungkin aku tak bisa menceritakannya dalam waktu dekat. Salah-salah aku justru membuatnya melakukan percobaan bunuh diri nanti.

[ }{ ]

Prognosis : Ramalan/ prediksi tentang peristiwa yang akan terjadi.

R E T R O G R E S IWhere stories live. Discover now