2.2

11 0 0
                                    

•°• Ath telah membangkitkan niat tersembunyi yang selama ini selalu meronta di ambang batas alam bawah sadarku •°•

*

Gerbang Terbuka

[ }{ ]

SILAU CAHAYA LAMPU segera menyergap begitu mataku terbuka. Kutekan pelipis sembari bertopang pada tangan, bersiap untuk menegakkan tubuhku. Bau anyir menyeruak masuk ke indra penciuman. Selagi bersusah payah untuk berdiri, aku terperanjat menjumpai mayat ibuku yang meninggal dengan tragis. Perutnya masih terbuka. Tak ada jahitan sama sekali. Parahnya, sayatannya bertambah lebar. Sayatan itu menjuntai dari perut ke dada. Beberapa organ vitalnya sungguh lenyap entah ke mana. Bahkan jantungnya juga diambil. Mengenaskan. Membuat lambungku bergetar ingin mengeluarkan isinya. Yah, perutku mual.

Mataku mulai berkaca-kaca seraya berjalan lunglai ke arahnya. Aku... setengah tak percaya dengan kenyataan yang terpampang di hadapanku. Kedua matanya terbuka lebar. Rambut cokelat panjangnya tergerai. Garis bibirnya datar. Tak menunjukkan bahwa ia meninggal dengan bahagia. Tinggal beberapa langkah menuju tubuhnya, dan aku berusaha mengacuhkan bagian tubuhnya yang terbuka. Terus berfokus dengan wajahnya yang suram sekaligus indah.

Aku menangis dalam diam. Ia meninggal sambil menitikkan air mata. Bulir di pelupuk matanya telah berbicara padaku. Tanganku mengarah ke kelopaknya dengan ragu. Menutup matanya dengan kelima jariku. Mengusap kepalanya seraya mencium keningnya sebagai lambang penghormatan terakhir. Air mataku yang jatuh ke pipinya membuat ia seolah sedang menangis juga.

Kutegakkan tulang punggung, kemudian berbalik pergi meninggalkannya. Aku berlari ke ruang tamu, menyambar sepatu dan buru-buru kabur dari tempat suram itu.

Walau kutahan sekuat apa pun, tetap tak bisa berhenti terisak ketika berlari. Rekaman pahit terus berputar di sekelilingku. Membuat dada semakin sesak sampai akhirnya berhenti berlari untuk duduk di kursi taman. Tangis mereda begitu menjumpai hamparan salju di sini.

Kini aku berada pada tempat di mana aku sering mencurahkan sampah yang tertimbun dalam hati. Biasanya aku bertemu dengan sang anjing terhormat berjenis golden retriever. Namun tidak untuk hari sedingin ini. Rasa dingin yang menusuk tulang hingga merasuk ke relung jiwa. Masuk dan menjelajah ke sekujur tubuh, serta menambah kadar dingin pada luka batin yang terus menyadarkan bahwa aku hanyalah seorang diri sekarang ini. Tak seorang pun manusia yang datang untuk menolong. Pagi itu adalah hari natal tersunyi seumur hidupku.

Rasa dinginnya membuatku menggigil. Kuusap tangis sembari menaikkan kedua kaki ke atas kursi, memeluk diri sendiri. Untuk beberapa menit, aku meringkuk ditemani dengan jatuhnya butir salju.

Miris. Aku menatap nanar tempat berselimut salju, mencari pendengar setiaku.

"D-di mana.. k-kau?" tanyaku berbisik entah kepada siapa. Sejujurnya, tak berharap pendengarku akan datang. Sebab terlampau dingin untuk bulu tipisnya. Kuharap ia juga telah menemukan tempat hangat di luar sana. Namun ... tak ada salahnya mencari saat dialah harapan terakhirku, bukan begitu?

Uap dingin selalu menyertai, seusai hidung mungil atau mulutku mengembuskan karbon dioksida. Tahu bahwa tak ada tanda-tanda kehidupan di sini, aku menenggelamkan wajah. Merengkuh tubuh lebih erat untuk mengurangi tusukan rasa dingin.

Mungkin aku hipotermia sebentar lagi.

Sekarang tak ada badai salju, bodoh.

R E T R O G R E S IWhere stories live. Discover now