Atlan berdecak. "Mau kantin nggak? Gue laper."

Lio menaikkan satu alisnya, "Lo mau ketemu sama cewek itu lagi?"

Benar juga. Kalau ia ke kantin, pastinya bisa ketemu sama itu cewek. Sial! Kalau kayak gini terus-terusan, ia bisa-bisa hanya di kelas sepanjang hari.

Pasrah, Atlan hanya mampu duduk kembali dan mungkin melanjutkan tidurnya. Kalau saja topik obrolan ketiga sahabatnya ini tidak menarik perhatiannya.

"Gue dengar ada anak baru," ucap Halim.

"Katanya pindahan dari Amerika," tambah Rian.

"Siapa? Cewek atau Cowok?" tanya Atlan cepat yang membuat ketiga sahabatnya itu berdecak, kalau soal cewek, Atlan pasti nomor satu.

Lio dengan santainya menaikkan kakinya ke atas meja, "Kenapa? Mau lo dekatin lagi?"

Atlan tersenyum polos. "Apa salahnya?"

Halim menggeleng-gelengkan kepalanya. Sahabat satunya ini seakan-akan tidak pernah kapok untuk mendekati cewek. "Lo nggak takut kalau cewek yang lo dekatin itu lagi-lagi cuman mau sama uang lo aja?"

Atlan cemberut. "Terus gue harus gimana? Pura-pura jadi orang miskin? Kayaknya percuma, soalnya muka gue udah dikenal banyak orang."

"Makanya jadi orang jangan kekayaan!" canda Rian.

Lio menurunkan kakinya, ia berpindah tempat duduk ke samping Atlan. "Seenggaknya lo kasih jangka waktu. Habis dekatin ini, besoknya dekatin yang lain."

"Kayak lo nggak aja! Gue masih mending cuman gue dekatin. Sedangkan lo?! Lo pacarin itu cewek, besoknya lo putusin terus cari yang baru!" kesal Atlan.

Lio tertawa mendengar kekesalan Atlan, "Santai."

Halim mendengus melihat kelakuan kedua sahabatnya itu, "Lo berdua sama aja."

"Lah? Lo berdua juga sama aja. Sama-sama senang ngelihatin kami ngejomblo!" kesal Atlan. Faktanya memang seperti itu.

Atlan dan Lio memang suka mendekati cewek. Bedanya mereka, Lio selalu mempacari cewek yang di dekatinya sedangkan Atlan tidak. Kalau Halim dan Rian, mereka berdua sama-sama sudah mempunyai pacar.

Rian tertawa mendengar ucapan Atlam, "Gue jawab deh, namanya Stella. Dari namanya udah pasti lo tahu kalau dia cewek. Jadi, siapa yang mau dekatin dia?"

Atlan dan Lio saling menatap satu sama lain. Mereka seakan mengobrol dari tatapan itu. Beberapa detik mereka saling menatap satu sama lain. Tatapan itu di akhiri oleh anggukan Atlan juga Lio.

"Kita mau lihat orangnya dulu," ucap Atlan, ia langsung berdiri dari duduknya begitu juga Lio, "gue nggak peduli kalau cewek yang tadi masih ada di sekitar sini."

Lio melihat kedua sahabatnya yang masih duduk, "Kalian nggak ikut?"

"Sebenarnya gue malas ikut," jawab Halim.

Rian menjentikkan jarinya, "Gue juga."

Atlan memutar badannya dan melihat kedua sahabatnya itu dengan tatapan tidak suka. "Oh jadi gitu, jadi selama ini kalian gitu? Hmm?!"

Rian memutar bola matanya, sifat alay Atlan udah kumat. "Iya iya kami ikut."

Kalau alay dan lebaynya Atlan sudah kumat, tamat lah riwayat mereka.

Kaki Atlan seakan ringan sekali untuk melangkah. Mungkin karena ia ingin menemui anak baru itu. Tidak lupa juga, ia selalu tersenyum ketika melewati cewek-cewek yang melihat dan menyapanya.

"Itu orangnya," bisik Rian.

Tidak seperti Lio yang tersenyum lebar ketika melihat anak baru itu, Atlan malah memperlihatkan wajah datarnya. Senyumnya tadi langsung hilang begitu saja. Begitu juga langkah ringannya tiba-tiba menjadi berat.

Pikiran Atlan saat melihat anak baru itu, di antara banyaknya cewek di Amerika, kenapa harus dia yang pindah kesini?!

"Lo kenapa disini?!"

Pertanyaan itu langsung keluar begitu saja dari mulut anak baru itu ketika mereka berempat sudah sampai tepat di depannya, membuat Atlan melihatnya malas. Berbeda dengan ketiga sahabatnya yang langsung melihat Atlan bingung.

Atlan menghembuskan napasnya, sedikit kesal. "Gue yang harusnya nanya, ngapain lo di sekolah gue? Ngikutin gue?"

Mata cewek itu melebar, "Eh! Lo yang ngikutin gue! Nggak sudi gue ngikutin lo! Buktinya lo pakai baju sama dengan gue!"

Ucapan cewek itu langsung membuat ketiga sahabat Atlan tertawa. Cewek ini seperti benar-benar baru menginjakkan kakinya di Indonesia. Tapi bahasanya lancar sekali.

"Anjir," Rian mencoba mengontrol tawanya, "semua orang di negara ini juga punya kali baju putih abu-abu."

"Lo bukan di Amerika lagi cantik," tambah Lio.

Halim menggeleng tidak mengerti ketika mendengar ucapan cewek itu. Ini orang kayak enggak pernah ke Indonesia, "For information, kalau disana emang lo sekolah pakai baju bebas, tapi disini enggak."

Atlan tersenyum miring, "Pakai bahasa inggris kali Lim, biar dia ngerti."

Cewek itu menghentakan kakinya kesal. Ia memang tidak mengetahui fakta itu dan karena kesal jadinya ia tidak memperhatikan sekitarnya. Apalagi kejadian beberapa hari yang lalu masih melekat di otaknya.

"Nama lo Stella, 'kan?" Stella menyipitkan matanya ketika mendengar Atlan yang bertanya seperti itu, "Kenalin, nama gue Atlan Reagen Legnard dan gue sama sekali nggak pernah niat buat ngikutin lo. Apalagi soal baju sekolah."

***

Kurang malam wkwkwk
Keep voment ya semua!!
Makasih udah nyempatin baca ini^^

20 April 2017

We're Not Twins, But We're?Where stories live. Discover now