17 : Hujan dan Malam

15.2K 1.5K 262
                                    

"Gue emang kekanak-kanakkan, gue bodoh. Ya! Gue bilang kayak gini karena gue enggak tahu mana yang baik dan yang buruk. Yang gue pikirin sekarang cuma... gimana caranya membahagiakan-diri-gue-sendiri." -Alvin-

~A Thousand Stars for Nathan~

...

Cahaya langit senja menyinari perumahan berwarna putih bertingkat dua itu. Dari depan rumah, tampak Alvin menutup pintu pagar dengan kaos putih yang masih melekat ditubuhnya. Rambutnya berantakkan, bulir-bulir keringat mengalir dari dahinya, dan wajahnya? Benar-benar tampak kelelahan.

"Pa..." panggil Alvin, menyodorkan amplop putih di tangannya.

Baik papa, mama, maupun Alvan terlonjak melihat penampilan Alvin. Baru saja Alvan ingin membuka mulut, tapi buru-buru Alvin memalingkan wajah, malas menanggapi sikap sok perhatian Alvan.

Plakk!!

Alvin meringis, memegang pipi kirinya. "Surat panggilan lagi!! Anak bodoh! Tak bisakah kamu berhenti menyusahkan saya!"

Tanpa jawaban, Alvin menerawang kosong, membiarkan pria itu berteriak di depan wajahnya. "Nyesal saya punya anak kayak kamu! Harusnya kamu tidak perlu ada di keluarga ini! Kamu menyusahkan, bodoh!"

Alvin tersenyum sinis. "Aku memang menyusahkan, terus kenapa papa marah? Bukannya itu keinginan papa? Papa selalu bilang aku menyusahkan. Saat aku benar-benar menyusahkan, papa malah marah sama aku," Alvin menggeleng pelan, tidak mengerti dengan jalan pikiran paruh baya itu. "Apa jangan-jangan aku ini masih kurang menyusahkan?"

Pria itu terdiam, seakan termakan dengan ucapannya.

Alvin tertawa pelan. "Oh ya pa, aku rasa aku juga berhasil jadi anak terbodoh di sekolah."

Plakk!

Alvin meringis, kali ini memegang pipi kanannya. Sakit.

"Alvin! Jaga ucapanmu!"

Alvin memejamkan mata, menggeleng pelan. Kepalanya mulai pusing sekarang, ia butuh mengistirahatkan fisik dan batinnya. "Papa belum puas nyakitin aku? Kalau papa belum puas, bunuh saja aku. Aku ikhlas pa. Jujur, aku enggak tahu gimana cara buat papa bahagia. Aku mau buat papa senyum."

"Vin..."

Alvin menoleh, memperhatikan Alvan berdiri tak jauh darinya. Kembarannya itu tercengang sejenak, menggeleng pelan. "Lo enggak perlu kayak gini Vin."

Alvin mengangkat sebelah sudut bibirnya. "Gue enggak punya cara lain Van. Gue capek. Gue udah enggak kuat lagi. Gue cuma pengen jujur. Gue pengen belajar ikhlasin semuanya."

Alvan terdiam.

"Ma..." panggil Alvin, mendekati perempuan itu. "Maafin Alvin. Alvin tahu kalau mama lelah hadapin Alvin. Alvin tahu kalau Alvin cuma nambah beban pikiran mama. Dan sekarang Alvin sadar..."

Alvin berusaha tertawa, menundukkan kepalanya. "Alvan jauh lebih baik daripada Alvin. Bukan hanya buat mama, Alvan pasti bisa bahagiakan papa, iya kan pa?"

Hening, tak ada yang membuka suara. Berusaha mungkin Alvin mengangkat kedua sudut bibirnya, tersenyum. "Aku tahu kalian bakal bahagia tanpa aku."

Alvin mengangguk, melepaskan tangannya dari bahu mama, lalu menaiki tangga. Tak apa, ia harus bahagia melihat ketiga anggota keluarga itu bahagia. Sungguh! dirinya pasti baik-baik saja. Cepat atau lambat ia pasti bisa mengikhlaskan semuanya. Ya, pasti bisa.

Langkah Alvin terhenti sejenak lalu menoleh ke belakang. Ketiga anggota keluarga itu masih menatapnya setengah tidak percaya. "Dan aku juga mau bilang kalau aku..." Alvin menggepal tangannya erat, berusaha mungkin membuka mulutnya.

A Thousand Stars for Nathan [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang