10 : Flashback

13.5K 1.5K 173
                                    

Jangan terlalu senang dan jangan terlalu berharap. -Alvin-

~A Thousand Stars for Nathan~

...

Dua tahun lalu...

Alvan, cowok dengan seragam putih biru itu duduk di sekitaran koridor kelas dengan gugup. Dari depan, tampak para murid dan orangtua berdatangan memenuhi perkarangan sekolah. Ya, ini hari pengambilan rapor semester ganjil dan tak terasa tinggal beberapa bulan lagi ia akan menginjakkan kaki di bangku putih abu-abu.

"Gugup amat."

Alvan mendongak memperhatikan papa di hadapannya. Pria itu tersenyum, mengetuk kepala Alvan dengan jari telunjuknya. "Pasti juara lah."

Alvan menyengir. "Aku jadi makin gugup pa."

Pria itu tertawa, mengacak rambut anaknya dengan gemas. "Ya sudah, papa ambil rapor Alvin dulu ya."

Alvan mengangguk. Mengingat Alvin yang tak pernah sekelas dengannya, mau tak mau papa dan mama membuat kesepakatan. Papa mengambil rapor Alvin dan mama mengambil rapornya.

Tubuh Alvan mendingin seketika, lagi-lagi rasa gugup menyerangnya. Bukan gugup karena masalah juara, ia tidak pernah mempermasalahkan rankingnya itu. Yang ia masalahkan sekarang hanyalah Alvin, nilai-nilai Alvin, dan membayangkan bagaimana reaksi papa melihat nilai kembarannya itu.

Alvan memejamkan mata, menarik napas sedalam-dalamnya. Dengan sedikit harapan, moga-moga nilai Alvin jauh lebih bagus dibandingkan nilainya.

☁☁☁

Beda dengan Alvin, jika tadi  Alvan berada di sekolah bertemankan dengan harapan-harapan konyolnya, maka sekarang Alvin tengah berada di sebuah aula, bertemankan rasa gugupnya ditonton oleh ribuan orang.

Remang-remang lampu memenuhi aula bertingkat dua itu. Bangku penonton yang berwarna kemerahan tampak dipenuhi oleh penikmat musik klasik. Baik dari anak-anak, para remaja, maupun orang tua tampak antusias melihat kompetisi itu.

Dari atas panggung, Alvin melemaskan jari-jarinya sejenak, ditatapnya lembaran partitur musik yang akan ia mainkan lalu tersenyum puas. Chopin - etude op. 25 no. 12. Beruntung ia memilih musik ini, pas dengan suasana hatinya.

Suara dentingan piano mengalir cepat, penonton yang tadinya sibuk menunggu peserta selanjutnya, sontak terdiam, menegakkan tubuhnya.

"Pa, ma, besok lihat Alvin kompetisi piano ya?" pinta Alvin, menghampiri ketiga anggota keluarga yang asyik menikmati acara televisi itu.

Mama menggeleng, merangkul pundak Alvan disampingnya. "Besok mama harus ambil rapor Alvan."

Alvin melirik Alvan sejenak, abangnya itu tersenyum, memasang mimik wajah tidak enak. Alvin tersenyum samar, mengangguk. Kalau mama memang mau ambil rapor Alvan ya mau bagaimana lagi? Rapor juga penting 'kan?

"Pa?" pinta Alvin, hanya papa satu-satunya harapan yang sekarang ia punya.

Pria itu menggeleng tegas. "Besok papa harus ambil rapor kamu."

"Pa, tapi mama bisa sek..." Belum sempat Alvin menyelesaikan ucapannya, pria itu menyipitkan mata, jari telunjuk pria itu terancung tinggi, menyisakan jarak berapa senti dari wajah Alvin. "Kamu tahu? Papa terpaksa ambil rapor kamu. Papa terpaksa harus nanggung malu melihat peringkat kamu."

Terpaksa? Alvin menunduk, menahan gepalan tangannya. Jujur, ia tidak menyangka, bagaimana bisa ucapan itu terlontar dari seorang papa? Bukankah seorang papa harusnya menyemangati anak-anaknya? Mendorong anak-anaknya agar bisa menjadi yang lebih baik?

A Thousand Stars for Nathan [TERBIT]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora