Minggu Kelima (Sarah)

201 3 2
                                    

"What happened?" Maria meminum Ice Lemon Tea nya.
"Doston." Aku menatap perempuan didepanku.
Aku dan Maria duduk berhadapan, menikmati Bali di sore hari.
"Gue tau pasti Doston, dia kenapa lagi?" Maria membakar rokoknya.
"Gue lihat dia di sini." "Dia di Bali, Mar." Aku menjawab.
"Gak heran lah, kan punya keluarga dan rumah di Bali..?"
Maria mengerutkan keningnya.
Aku menghela nafas.
"Gue lihat dia sama perempuan, kemarin di airport." Aku tertunduk.
Maria menghela nafasnya, dia meletakkan rokoknya.
"Sarah, sudahlah."
Aku terdiam.
"Bukan hal yang aneh untuk dia jalan sama perempuan lain, gue gak heran. Gue justru pengen lo sadar, lo lihat sendiri kan?"
"Come on, Sar.. He's not worth it." Maria memegang pundakku.
Aku masih terdiam.
Aku menoleh kearah jalan.
"Sarah.."
"Gue belum bisa, Mar."
"Gue terlalu.. Gue terlalu cinta, Mar." Aku berkata pelan.
"Gue ngerti, Sar." Maria menatapku.
"Maria, gue sadar gue udah nyakitin perasaan gue sendiri selama ini. Sekarang gue sadar bahwa gue adalah orang yang seharusnya disalahkan untuk semua ini, ini bukan salah Doston, gue yang bodoh."
Aku diam sesaat.
"Gue memberikan semua yang gue punya, gue merelakan semua untuk orang yang mungkin tidak merasakan perasaan yang sama. Gue bodoh. Gue buta, Mar." Aku mencoba menjelaskan.
"Gue akan selalu peduli dan sayang sama lo apapun yang terjadi, gue ngerti. Gue minta lo sekarang mulai jalan maju, gue gak pengen lo nyerah. Gue ngerti ini gak akan gampang, tapi lo sendiri sudah membuktikan bahwa dia lah yang selama ini nyakitin lo. Hargai diri lo sendiri, Sar!"
Aku terisak.

Menyadari bahwa jalan keluarnya adalah berhenti mencintainya membuatku menangis. Aku terisak pilu akan kenyataan yang sudah sangat terlihat bahwa satu-satu nya jawaban untuk menyembuhkan perasaanku adalah dengan menyakiti perasaan ini dulu, meninggalkannya, dan mungkin setelahnya aku akan berhenti tersakiti. Aku harus menghapus semua yang aku punya, aku tidak yakin aku bisa, tapi aku tahu aku harus melakukannya.

-------------------

Malam ini ayahku mengundang Maria dan Gale untuk makan malam bersama kami, tapi Gale tidak bisa, dia harus terbang.
Jadwal penerbangannya memang sedikit random karena dia bekerja untuk perorangan, dia ternyata seorang pilot jet pribadi.

Aku, Maria, dan ayahku duduk di meja pojok restoran ditengah kota Bali.
Ayahku dan Maria memang sangat dekat, mungkin karena Maria adalah sahabatku yang paling lama, keluarga kita sudah saling mengenal satu sama lain bertahun-tahun.
"Gimana sekolahmu, nak?" Ayahku bertanya pada Maria sambil meminum kopinya.
"Gak ada masalah sih, om. Doain ya tahun depan aku lulus, om."
Maria tersenyum.
"Mudah-mudahan ya!"
"Kalau pacar gimana, Mar?" Ayahku menggodanya.
Maria tersenyum lebar.
"Masih single nih om!" Dia tertawa.

Handphone ku berbunyi, Doston.
Maria menoleh kearahku, mengerutkan keningnya, Maria menggelengkan kepalanya, dia memberikan aku kode untuk tidak mengangkat telfon nya.
Aku menatapnya sebentar.
"I gotta answer this, excuse me." Aku berbicara pada ayahku dan Maria.
Maria menghela nafasnya dia terlihat sedikit kesal.
Aku beranjak dari kursi, berjalan kearah balkon restoran.

"Halo?" Aku mengangkat telfonnya.
"Halo, kamu di Bali?" Doston bertanya.
"Iya, kenapa?" Aku menjawab mencoba terdengar normal, sekuat tenaga aku berusaha untuk terdengar biasa, jantungku berdebar.
"Nothing, kamu baik-baik saja kan?" Tanyanya.
Aku menghela nafas, memejamkan mata.
"Aku baik-baik saja, Dos. Kamu hati-hati ya!" Aku mencoba menjawab dengan santai.
"I'll be fine, Sar. Goodbye." Suaranya mengecil.
"Okay, bye." Suaraku mungkin sedikit bergetar. Aku menutup telfonku.
Aku menghela nafas panjang. Aku memandang jauh kearah pantai, pemandangan dari balkon restoran ini. Aku terisak.

Mendengar suaranya saja membuat aku sangat merindukannya. Seseorang yang harus aku tinggalkan, harus aku lupakan. Aku sangat mencintainya, aku bahkan tidak pernah membencinya setelah apa yang dia lakukan kepadaku. Justru itu yang membuatku menangis, aku tidak akan pernah bisa melupakannya, tidak akan pernah bisa. Perasaan yang aku miliki untuknya masih utuh dan terasa sangat jelas adanya, tidak hilang, mungkin tidak akan pernah bisa hilang. Aku tertunduk.

"Sarah." Seseorang menepuk pundakku.
"Ayah.." Aku menoleh sambil menghapus air mataku.
Ayahku tersenyum.
Kita berdua berdiri diujung balkon menghadap kearah pantai.
Ayahku menoleh kearahku, dia tersenyum.
"Kamu tidak akan pernah bisa mencintai orang lain, sebelum kamu mencintai dirimu sendiri, Sarah."
Dia memandang jauh pemandangan didepan kita.
Aku terdiam. Sekarang akupun memandang pantai didepanku.
"Cintailah dirimu sendiri, setelah itu baru kamu boleh mencoba mencintai orang lain."
"But.. how?" Aku menoleh kearah ayahku.
"Cinta adalah perasaan yang saling, Sarah. Semua nya harus berbalas."
"Sebelum kamu bisa mencintai dirimu sendiri, tidak akan pernah bisa kamu bahagia karena cintamu, malah sebaliknya, cinta akan sangat menyakitkan untuk kamu." Ucapnya pelan.
"Seperti sekarang ini...." Kataku pelan. Aku kembali terisak.
Ayahku tersenyum, dia kembali melihat kearah pantai.
"Saat kamu mencintai orang sebesar bumi, maka orang itupun harus mencintaimu sama besarnya sebesar bumi, tidak boleh kurang atau lebih."
Dia menghela nafas, aku masih menatapnya.
"Pertanyaannya adalah bagaimana kalau itu semua sudah terjadi, perasaan kalian tidak sama besarnya." Dia menatapku sekarang.
"Dan bagaimana kalau dia memang tidak mencintaiku, yah?"
Air mataku kembali jatuh membasahi pipiku.
"Dia mencintaimu, Sarah." Ayahku tersenyum.
"Hanya saja, tidak sebesar kamu mencintainya." Dia masih tersenyum melihatku terisak dihadapannya.
Aku semakin terisak, aku tertunduk.
"Ini terlalu sulit, yah. Aku tidak bisa.." Aku menatapnya sambil membiarkan air mataku jatuh semakin deras.
"Jangan pernah mencoba untuk berhenti mencintai seseorang, kamu tidak akan pernah bisa. Perasaan itu adalah sesuatu yang mustahil untuk dihapus." Ayahku tersenyum.
Kita terdiam beberapa saat.
"Jadi aku harus move on?" Aku mencoba menghapus air mataku.
Ayahku mengangguk, membenarkan sedikit posisi berdirinya, menyandarkan tangannya ke ujung pagar.
"Move on bukan berarti kamu harus membuang perasaanmu lalu pergi, move on adalah disaat kamu sudah bisa ikhlas untuk menerima kenyataan bahwa mencintainya hanya bisa menyakitimu karena cintanya yang tidak sebanding, rubahlah perasaanmu menjadi perasaan yang lebih dewasa."
Dia mengelus kepalaku.
"Apa yang lebih dewasa dari mencintai?" Aku menatapnya.
Ayahku menghela nafas.
"Menyayangi."
Aku terdiam.
Kita berdua terdiam, berdiri bersandingan memandang jauh indahnya laut dimalam hari. Aku menatap ke langit, malam itu sangat terang, sejauh mata memandang, bintang tidak henti-hentinya memancarkan cahayanya malam itu.

"Sayang adalah perasaan paling tulus yang bisa manusia rasakan."
Ayahku berkata lagi sambil menghela nafasnya.
Aku masih terdiam, menunggu dia melanjutkan kata-katanya.
"Sayang adalah memberi tanpa meminta, sayang tidak menuntut."
Aku menoleh kearahnya, menatap ayahku. Dia menoleh kearahku, tersenyum lalu memalingkan wajahnya.
"Sayang itu berani melepaskan, Sarah."
Sekarang dia tersenyum, aku bisa melihat senyumannya dari samping.
Kerutan di wajahnya terlihat jelas saat ayahku tersenyum, tanpa aku sadari ternyata ayahku meneteskan air mata.
"Ayah.." Aku meraih tangannya.
"Sayang adalah seperti perasaan ayah untukmu, sayang. Melepaskanmu jauh dari ayah adalah hal tersulit yang pernah ayah lakukan untuk seseorang yang ayah cintai, tapi ayah lakukan itu karena ayah tidak hanya mencintaimu, tapi juga menyayangimu."
"Ayah sangat merindukanmu, Sarah."
Ayah menarikku kedalam pelukannya.
"Ayah yakin, suatu saat kamu bisa mengerti seberapa ayah menyayangimu, saat kamu bisa merasakan apa yang ayah rasakan untuk kamu, nak.. Mencintai dan menyayangi seseorang."
"I love you, ayah." Aku memeluk ayahku erat.
"I love you more, little Sarah." Dia mencium keningku.

"Lihat, Maria cemberut!" Ayahku menunjuk kedalam resrotan.
"Haha iya.." Aku menarik ayahku berjalan kedalam restoran.

"Selamat melanjutkan makan, om dan Sarah!" Maria tersenyum lebar melihat kita berdua.
Ayahku tersenyum. Kita melanjutkan makan malam dengan obrolan ringan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 08, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pain Demands To Be FeltTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang