Minggu Kelima (Sarah)

116 1 1
                                    

"Or maybe he never did."
Kata-kata itu masih terngiang.
Sudah pukul 4 pagi, aku masih menatap langit-langit kamar hotelku.
Sesekali aku membalikkan badan menghadap kearah jendela yang sengaja tidak aku tutup.

Pertanyaan-pertanyaan muncul dalam diriku. Apakah mungkin bahwa selama ini mungkin Doston tidak mencintaiku? Apakah bukan cinta yang dia rasakan? Lalu apa yang selama ini dia rasakan untuk aku?
Mungkinkan cinta yang aku miliki membutakan aku, sampai aku bisa-bisanya tidak menyadari apapun.

Dulu aku selalu berpikir bahwa dia sangat egois, dan hanya memikirkan perasaannya. Sekarang aku mencoba membalikkan semuanya, apakah justru aku yang terlalu egois, aku yang hanya memikirkan perasaanku sendiri.

Hal yang aku pedulikan hanyalah perasaanku. Cinta aku untuk dia. Perasaan yang aku miliki untuk Doston. Selama ini aku tidak pernah memikirkan apa yang dia rasakan, apa yang dia miliki untuk aku.

Air mataku jatuh.
Sekarang aku diselimuti rasa takut. Aku takut mungkin memang aku yang tidak pernah mencoba merasakan dan tahu apa yang dia rasakan untuk aku.
Aku lah yang selama ini egois.

Aku merasa bahwa aku lah yang paling mencintai dia, dan hanya perasaanku lah yang pantas untuknya. Aku bahkan tidak pernah peduli apakah dia merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan, sampai ini sudah terlalu jauh, terlalu besar.

Benar.
Aku tidak pernah bertanya, aku tidak pernah tahu apakah dia mencintai aku seperti aku mencintainya. Ini bukan salahnya, ini jelas salahku. Seharusnya aku tahu apa yang dia rasakan untuk aku, bahkan seharusnya aku tahu apakah dia menginginkan aku untuk merasakan ini padanya.

Aku sudah memberi tanpa dia pernah meminta.
Mungkin selama ini aku memberikannya sesuatu yang tidak dia inginkan.
Dia memang tidak menolak, aku rasa tidak akan ada manusia yang bisa menolak cinta. Aku membuatnya terlena, aku membuatnya berpikir bahwa cinta lah yang mungkin dia inginkan, dan kenyataannya tidak. Sampai akhirnya dia pergi, bukan karena dia tidak mencintaiku, tapi karena dia tidak ingin aku terus memberikannya apa yang dia tidak pernah minta.

Semakin jelas adanya bahwa ini bukan salahnya, ini salahku.
Aku terlalu egois untuk menyimpulkan sendiri bahwa dia menginginkan cinta dariku, mungkin dia tidak pernah menginginkannya.

Aku menghela nafas, menghapus air mataku.

Aku berdiri melangkah kearah balkon.
Aku menoleh kearah meja.
Mawar.

Mawar adalah sesuatu yang indah, dia sangatlah cantik.
Tidak akan ada yang menolak untuk mengakui mawar adalah sesuatu hal yang indah. Disisi lain, bunga mawar tidaklah hidup tanpa batangnya yang berduri. Mawar adalah mawar hidup saat ia berduri.

Semua manusia akan menerima mawar, simply because it's very beautiful.
Seseorang yang tidak membutuhkan mawar pun akan senang saat seseorang akan memberikan bunga cantik itu untuknya.

Saat aku mencoba memetik mawar, durinya melukaiku.
Aku akan menjadi orang pertama yang terluka karena aku yang memutuskan untuk memetik bunga itu dan memberikannya untuk orang lain.

Saat aku menawarkannya, dengan tanganku yang terluka, itu sudah bukan salahnya jika dia menolak, mungkin dia takut terluka seperti aku.
Dia tidak akan menerima mawarku, karena akhirnya dia tahu hal indah yang aku tawarkan ternyata bisa melukai nya juga.

Seperti itulah yang terjadi antara aku dan Doston.
Bukan dia yang membuatku terluka, tapi justru cinta yang aku punya yang membuatku terluka.

Pain Demands To Be FeltTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang