Minggu Ketiga (Sarah)

199 0 0
                                    

Aku menatap lorong hotel berusaha sekuat tenaga untuk mendorong koperku. Aku berjalan menelusuri deretan pintu kamar hotel, aku menengok ke kanan, dan menghentikan langkahku sejenak.

Hamparan pantai indah didepan mataku tidak menjadikan aku hidup kembali. Aku menatap pemandangan luar biasa didepan hotel itu. Pantai.

Aku mendongakkan kepalaku, membiarkan matahari menyorot wajahku. Aku tertunduk menatap koperku.

Aku masih tidak percaya apa yang aku lihat satu jam yang lalu di bandara. Aku berjalan meninggalkan pemandangan indah itu, aku berjalan dan melihat pintu kamar hotelku diujung lorong.

711.
Aku menghela nafas dan meraih kunci kamar ditangan kiriku.
Kamarnya sangat luas. Aku sengaja meminta ayah untuk carikan kamar dengan balkon, dan pemandangan mengarah ke pantai. Bali sekarang sudah sangat penuh, butuh menempuh perjalanan sekitar 30 menit untuk sampai didaerah ini, masih sepi.

Aku membuka pintu balkonnya, aku melangkahkan kakiku sambil mengambil nafas panjang. Matahari.
Aku membiarkan cahaya matahari menyelimuti wajah dan separuh bagian tubuhku. Aku memejamkan mata, merasakan angin pantai menjamahi tubuhku.

Aku membalikan badan, ada dua kursi kayu dan satu meja kecil. Terdapat bunga mawar yang disediakan dari hotel. Aku meraihnya.

Mawar. Aku sangat suka bunga mawar. Aku duduk di kursi sambil masih memegang mawarnya. Aku melihat secarik kertas diatas meja itu.

"Jangan pernah sia-sia kan wajah dan senyum indahmu. Tidak ada alasan didunia ini yang bisa membuatmu bersedih. Semoga Bali bisa menjadi obat kelaraan hatimu." -Ayah-

Aku menatap kertas itu, tertulis bahwa itu adalah kertas hotel, tapi sepertinya ayah sengaja menuliskan itu untuk aku. Aku berpikir keras. Darimana ayah tahu aku bersedih? Darimana ayah tahu bahwa aku sedang sedih?

Melihat kertas dan membacanya membuat aku kembali mengingat Doston. Aku memutar kejadian yang tadi aku lihat di Bandara, Doston bersama perempuan lain. Sesak yang 3 minggu lalu aku rasakan kembali datang menghantam dadaku. Aku terisak.

Walaupun aku tidak bisa dengan jelas melihat mereka, tapi aku tahu bahwa itu adalah Doston, mantan kekasihku yang 3 hari lalu baru saja memelukku. Tiga hari yang lalu dia masih mendekapku dalam pelukannya, hingga aku tertidur. Itu Doston.

Doston ada di Bali.
Bersama perempuan lain.
Mungkin itu alasan mengapa dia tidak membalas sms dan tidak menjawab panggilanku.

Aku menangis. Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku.
Aku merasakan sesuatu telah merenggut sebagian dari ragaku. Badanku terasa lemas tidak berdaya. Sesekali aku membuka mata dan melihat jauh pemandangan indah didepanku, membuatku semakin menangis menyadari bahwa tidak ada satupun didunia ini yang bisa membuatku tidak bersedih saat aku mengingat betapa sakitnya hatiku karena dia.

Indahnya Bali tidak mampu berbuat apapun atas kesakithatian ini.
Secarik kertas dari ayahku masih ada ditangan kananku, aku meletakan mawar merah yang tadinya aku genggam, dimeja kecil sebelahku.

Aku berdiri, menyandarkan badanku kepagar balkon kamar hotel. Aku tertunduk.

Doston.
Aku kira kedatangannya kemarin adalah tanda bahwa diapun tidak bisa pergi dariku. Aku pikir dia merindukanku dan merasakan apa yang aku rasakan. Harapanku lenyap seketika saat aku melihat dia di Bandara bersama perempuan itu. Anganku atas memilikinya kembali jatuh bersama air mataku seketika aku tahu bahwa aku salah. Aku salah mengira bahwa Doston akan kembali lagi kedalam kehidupanku.

Pain Demands To Be FeltTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang