Minggu Kedua (Sarah)

591 2 0
                                    

Suara air dari keran masih menjadi temanku malam ini, aku masih duduk diam diujung bath tube kamar mandiku.

Pikiranku kosong, aku hanya melamun terdiam, sambil tanpa henti membulak balikan novel yang rencananya akan aku baca malam ini sambil bersantai didalam bak air hangat. Rindu.

Aku menatap novel karya Tere Liye, sepupuku Salsa merekomendasikan novel itu padaku, 3 bulan yang lalu. Sebenarnya saat itu aku langsung membeli novelnya tapi belum sempat aku baca, aku tak punya waktu.

Saat itu aku masih bersama Doston, mantan kekasihku, jelas aku tidak punya waktu sendiri untuk membaca novel, aku selalu menghabiskan hari-hari ku bersama Doston, we were always together, always.

Aku ingat, setelah aku membeli novel itu, aku dan Doston pergi ke mall untuk menonton salah satu film yang baru saja di released saat itu, dan setelahnya.. hmmmm ohya! Kita pergi makan malam bersama keluarganya Doston. Aku masih ingat saat itu aku memesan tenderloin dan Doston memesan sirloin. Saat itu ada ibu tirinya, dan ayahnya, kami hanya berempat. Kita membicarakan bisnis baru ayahnya yang baru akan dimulai, yang aku rasa sekarang sudah berjalan. Sepulang dari dinner, Doston mengantarku pulang, dan sebelum aku meninggalkan mobilnya, we kissed.

It was so intense, his lips againts mine. I still can feel it. His smell, his skin.
I guess that was one of the best kiss we had, he pulled me closer, we touched. There was no one in my house. We decided to do it.

I took a very deep breathed when he started to put them inside me. He pull my hair gently, we kissed. The feeling was so overwhelming. He always did good.

Tanpa aku sadari, bath tube ku sudah penuh, air nya mulai menetes mengenai kakiku. Ah shit!

Ini adalah salah satu caraku menikmati waktu hanya dengan diriku sendiri, berendam, dan membaca. Aku mulai membaca novelku, prolog.

"Apalah arti cinta ketika kami menangis terluka atas perasaan yang seharusnya indah? Bagaimana mungkin, kami terduduk patah hati atas sesuatu yang seharusnya suci dan tidak menuntut apapun?"

Aku menutup novel itu, aku terdiam, sambil menatap langit-langit kamar mandiku, Doston.
Kata-kata itu menamparku. Bagaimana bisa sesuatu hal yang sangat indah sekarang sangat menghancurkan hatiku? Aku memejamkan mata, aku meneteskan air mata mengingatnya, Doston.

Hanya ada dia dipikiranku saat ini, mungkin akan selalu dia. Aku kembali merasakan sesuatu menusuk dadaku, sangat dalam. Sesak. Demi Tuhan, aku sangat mencintainya, aku tahu aku tidak akan bisa lagi mencintai orang lain seperti aku mencintainya. Cintaku untuknya sangat sempurna. Perasaanku untuk Doston sangat tulus, aku tidak meminta apapun, aku tidak bisa merasakan apapun, hati ini menginginkannya. Jiwa dan ragaku selalu membutuhkan dia. Tanpanya, hidupku terasa kosong, hatiku hancur. Setiap malam aku menangis sampai tertidur dan didalam hatiku aku selalu menyebut namanya. Aku sangat mencintainya, Tuhan.

Aku menenggelamkan kepalaku, sunyi. Suara air didalam bak ini benar-benar sunyi, jiwaku terlarut dalam kesunyian ini. Didalam kesunyian ini, aku bisa mendengar hatiku. Hatiku memanggil dia, hatiku tidak akan pernah berhenti menyebut namanya, bahkan saat aku tidak bisa mendengar apapun, aku masih bisa tahu bahwa hatiku akan selalu menyebutkan namanya. Sakit.

Kenyataan bahwa dia berhenti memperjuangkan cinta kita sangat menyakitkan. Kenyataan bahwa dia tidak merasakan apa yang aku rasakan padanya sangat menyayat hatiku. Sekarang aku teduduk, aku bangun dari kesunyianku, aku terdiam setengah badanku masih terendam dalam air penuh busa ini. Aku menoleh, aku melihat bayanganku dikaca, mataku sangat merah, sayu. Aku kembali meneteskan air mata, aku menangisi diriku sendiri, aku iba pada diriku sendiri.

Pain Demands To Be FeltTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang