thirty five

876 23 0
                                    

"Siapa?!"  "Henry."

Apa-apaan ini! Apa benar cuma Henry yang tau? Kenapa cuma aku yang kelihatan bodoh disini?

Dan sekarang aku harus apa? Diam. Senyum. Marah. Nangis. Argh!

"Sovia, kok diem?" Argh pake ngomong segala nih orang! "Gapapa! Eh, jadi Henry tahu yah? Kok lucu ya, tapi anehnya aku ga bisa ketawa? Aku mau pulang" jawabku

Kevin bergerak mengikuti, dan biasanya itu membuat ku senang, tapi sekarang membuatku risih.
"Eum. Stop. Aku mau pulang sendiri" kataku, sembari memaksanya mundur. "Oke, aku ga akan memaksa kali ini, hati hati di jalan"

Aku melanjutkan perjalanan tanpa melihat ke belakang. Mungkin untuk menenangkan hati ku, aku benar benar entah harus apa sekarang.

       Aku ketipu? Enggak, aku nya aja yang tolol, ga pernah nanya kenapa tiba tiba ada yang mau deket deket sama aku. Aggrh! Sial banget sih hidup ku!

    Aku berfikir, mungkin akan lebih tenang jika aku melihat ayah, jadi aku akan pergi ke rumah sakit. Aku layaknya orang gila, mau senyum tapi rasanya menyakitkan, mau nangis tapi ini ga pantes buat di tangisi.

Sampai. "Ayah, kapan ayah sembuh? Bentar lagi aku ujian kelulusan, bentar lagi ambil ijazah dan tetekbengek nya, kalau ayah ga sembuh sembuh siapa yang nemenin aku pas pembagian hasil kelulusan? Ayah, aku kangen sama ibu, ayah juga. Ayah harus temenin aku ya kalau udah sembuh, jangan kerja terus, biar aku ga kesepian, ayah tahu ga? Selama 17 tahun aku sekolah, aku selalu sendirian mau di rumah mau di sekolah.." aku mulai terisak. "Ga dimanapun aku selalu sendiri, nanti ayah harus temenin aku ya.." sudah berapa lama ayah tidur? Sampai saat ini tidak menunjukkan perkembangan apapun, jangan sampai ayah nyusul ibu.

   Perut ku bunyi, aku harus ke kantin atau kemanapun yang bisa membuat ini berhenti bunyi.

   Aku selesai makan, dan bergegas kembali ke kamar untuk berpamitan, karena rencanaku mau langsung berziarah ke makam ibu, karena pasti ibu yang mengerti perasaan ku sekarang.

     "Ayah, semoga cepat sembuh ya, ayah janji bakal main sama aku, ayah belum sempat menepati jadi itu, ayah harus inget, janji itu hutang, jadi ayah berhutang hihihi" kataku sambil cekikikan.
         "S....ia..." suaranya parau, nyaris tak terdengar, tapi aku yakin itu ayah "A... Ayah? Ayah sadar? Ayah sembuh?" kataku sambil menitihkan air mata bahagia "Ayah mau apa? Ayah laper kan? Nanti Sovia beliin buat ayah? Atau Sovia harus panggil dokter atau suster?" kataku tanpa sempat membiarkan ayah menjawab semua pertanyaan dariku. Tapi sebaiknya aku panggil dokter.

      "Kevin! Tolong jaga ayah ku ya, dia siuman aku harus panggil dokter dulu" "Seriusan? Oke oke aku aja yang manggil, kamu jagain aja ayah kamu" aku mengangguk, dan kembali ke kamar, dengan ekspresi setengah senang atau malah kesal.

Walaupun harusnya kesal.

"Ayah, ayah mau apa?"
Ayah mengangkat tangannya, seakan isyarat bahwa aku harus memegang tangannya yang lemas.
"....Bahagia" entah apa kalimat sebelumnya, kurang jelas
"Aku bahagia kok, soalnya ayah udah siuman" kataku menjelaskan
Akhirnya dokter masuk, tapi Kevin tak tahu dimana.

"Dokter, ayah saya sembuhkan, jadi kapan dia bisa pulang?"

Dokternya diam seribu bahasa, bahkan memberi isyarat pada susternya kalau aku harus keluar ruangan, mungkin aku terlalu berisik. Tapi akhirnya aku ikut keluar juga.

Dan disanalah Kevin, duduk diam, seperti memikirkan sesuatu. Entah apa, tapi rasanya sangat canggung untuk memulai percakapan. Bahkan saling tatap pun rasanya gak mungkin.

     "Aku gak tau aku bisa ngomong sama kamu lagi atau enggak" katanya
"Kalau penting omongin aja." kataku, jual mahal, iya lah gengsi!
"Tapi kamu harus kuat. Yakin?"
Dan Yap, mungkinkah sadarnya ayah ku adalah saat terakhirnya membuka mata? Aku menggelengkan kepalaku sangat kencang, untuk mengusir pemikiran buruk itu.

"Mungkin kamu berpikir kalau ayah mu sembuh, tapi tadi dokter itu heran sendiri saat aku panggil, dia bilang pasti ada yang tidak beres"
"Bukannya itu bagus ya? Kan ayahku sadar"
"Semoga emang bener ayah mu menunjukkan perubahan baik"

Katanya sambil menundukkan kepalanya.
"Nanti, biar aku yang ngomong langsung sama dokternya, ini ayahku bukan ayah mu"
Dia hanya mengangguk, menyebalkan.

     Sekarang bukan saatnya untuk bercanda atau hanya sekedar bercerita tentang kekhawatiran ku pada Kevin. Entahlah, kami sedang bertengkar atau apa, tapi kami diam seribu bahasa satu sama lain. Sampai dokter keluar, dengan wajah yang... Entahlah aku belum bisa mendeskripsikan ekspresi wajahnya.

"Ayahmu ingin bicara padamu." tukasnya
"Tentu, pasti dia sangat rindu pada anak semata wayangnya ini, boleh saya masuk dok?"
Dokter itu mengangguk.
"Setidaknya, kamu harus ada saat dia menangis lagi nantinya.."
Saut dokter itu berbisik pada Kevin
Tapi apa kelanjutannya? Masa bodo lah! Yang penting aku kangen ayah!!

    "Ayah!! Sovia kangen sama ayah, ayah laper gak? Mau Sovia beliin makan apa? Sovia suapin ya"
"Sovia.."
   "Hmm? Kenapa yah?"
"A.. Kang.. En"
    "Iya Sovia juga kangen sama ayah"
"La.. Er"
    "Ayah mau makan apa?"
Bola mata ayah mulai berpindah, pandangannya meneliti seseorang yang sedang menonton percakapan kami, seketika aku pun langsung mengikuti arah bola mata ayah.

Kevin.
"Hai!"
Dia membalas dengan lambaian tangan dan sedikit menyunggingkan senyuman di bibir sexy nya.

"Ayahmu harus makan, berapa minggu dia tidur?" katanya mencoba mencairkan suasana.

"Ayah belum jawab pertanyaan Sovia, ayah mau makan apaan?"
   "T... Se.. Rah... S... Via"
"Oke ayah tungguya, aku panggil suster buat bawain makanan ayah ya, Kevin jagain ayah dulu yah"
Aku langsung pergi tanpa melihat atau mendengar jawaban dari Kevin.

Saat aku masuk sambil membawa makanan, terlihat tangan Kevin menggandeng tangan Ayah, sepertinya sedang membahas sesuatu yang penting, karena mata Kevin mulai berkaca-kaca dan mukanya memerah menahan tangis.

    "Ayah! Ayo makan..."
Dan merekapun langsung melepaskan gandengan, Kevin sontak menyeka air matanya yang langsung tumpah karena berkedip.

Kevin keluar ruangan, dan aku langsung menuntaskan menyuapi ayah. Penasaran, tapi aku gak yakin ayah bakal memberitahu apa yang dia bicarakan sama Kevin tadi.

     selesai, aku langsung keluar ruangan. Aku melihat Kevin masih sedikit terisak, seperti anak yang kehilangan ibunya. Dia mulai menatapku.

       Dan mulai mengajakku pergi dari rumah sakit, aku mendadak lupa akan amarahku tadi siang, aku berusaha mengikuti langkah kaki jenjangnya yang buru buru. Dan berhenti

"Ngapain?"
        "Butuh udara segar aja"
"Terus? "
         "Aku butuh teman"
"Gila!"
          "Memang, aku sampai gila kalau kamu terus bersikap seperti ini"
"Tanpa aku bersikap seperti apapun, kamu memang sudah gila!"
           "Udahlah, kamu Gaboleh jauh jauh dari aku"

      Siapa kamu! Batin ku

Tanpa peduli aku langsung pergi meninggalkan Kevin.

       "Ayo kita ke ibumu"
Aku menghentikan langkahku, dan dia menarik tanganku untuk mengikutinya. Lagi. Dan itu susah

"Kalau mau ngajak orang, liat orangnya, aku ga bisa ngikutin langkah kamu yang jauh banget kayak gitu!"
          "Sorry aku lupa kalau kamu pendek."
"Terserah"
           "Tapi aku tetep sayang kok!"

BROKEN (COMPLITED)Where stories live. Discover now