Day 50

3.9K 334 26
                                    

Day 50

Author POV

Michelle tampak berlari ke ruangan Hamish.

"Masuk." Hamish mengalihkan pandangan pada Michelle.

"Bapak panggil saya?" Michelle berusaha bersikap formal.

"Duduk." Perintah Hamish. "Ada hal yang mau saya bicarakan sama kamu." Hamish menutup laptop di hadapannya. "Soal kita." Mata Michelle terbelalak ketika mendengar kata "Kita"
"Em-apa pak?"
"Begini Michelle, saya harus minta maaf sama kamu sebelumnya."Hamish memulai penjelasannya.
"Soal?"Alis Michelle bertaut.
"Tugas ke Bali, kata-kata saya tentang ketertarikan saya sama kamu." Hamish mengambil jeda "Saya tahu ini konyol, dan rasanya kekanak-kanakan." Lanjut Hamish, tapi wajah Michelle masih terlihat kebingungan.
"Kamu tahu papa saya pemilik perusahaan, dan Devan, kekasih kamu adalah orang kepercayaan papa saya. Usianya lebih muda dari saya, awalnya saya kesal pada Devan soal posisi barunya sebagai Direktur Keuangan. Tapi setelah saya tahu hubungan spesial kamu sama dia, saya pikir saya akan mengacaukan konsentrasinya dengan memanfaatkan kamu." Hamish mengambil jeda, melihat ekspresi wajah Michelle yang berubah.
"Saya minta maaf. Jadi saya harap kamu tidak salah paham lagi soal kita."
"Salah paham?" Alis Michelle bertaut.
"Iya, saya tidak benar-benar melibatkan perasaan saya."Hamish tampak menyesal, tapi tiba-tiba ekspresi Michelle kembali berubah. "Tidak masalah buat saya pak. Boleh saya pergi?"
"Oke." Hamish justru terlihat kaget dengan binar di wajah Michelle.
Michelle tampak berlari girang menuju ruangannya. Tiba-tiba ponsel Michelle bergetar.
"Halo." Terdengar suara Devan di seberang.
"Hai Bee." Suara Michelle terasa begitu renyah "Gimana? Merasa lebih baik?"
"Sangat baik." Jawab Devan.
"Merindukanmu." Michelle menggoda Devan, dia setengah berbisik karena di ruang staff ada beberapa orang, meski semua sedang sibuk.
"Saya juga." Balas Devan.
"Sore ini, pulag kerja saya akan segera ke rumahsakit."
"Pulang saja, istirahat." Perintah Devan.
"Enggak."Michelle menekankan jawabannya.
"Ok terserah kamu. Tapi saya nggak mau kamu sampai sakit."
"Siap." Michelle masih meahan intonasinya.
***
"Bu Dokter sore ini pastikan saya jadi pasien terakhir anda." Hamish mengirim pesan pada Aurellie, dan seketika Aurellie terlihat tersenyum di sela kosultasinya dengan seorang pasien.
"Baik pak pegawai biasa. (Anda selalu ingin disebut pegawai biasa bukan?)" balas Aurellie.
"Iya, tentu saja." Tak kalah lucu, Hamish juga tampak tersenyum sendiri di depan layar komputernya. Setelah itu Hamish tampak sibuk memesan buket bunga dari florist langganan ibunya.
"Wow, pen, selama ini kalian menyiksaku degan sejuta ketidaknyamanan. Tapi terimakasih sudah hadir di hidupku, kalian membuatku bertemu dengan dokter berwajah malaikat itu."gumam Hamish.
Aurellie tampak sumringah, bahkan Hamish mampu mengalihkan pikirannya dari Devan dalam hitungan jam. Setelah pasie terakhir keluar dari ruangan Aurellie, dia tampak gelisah.
"Michelle, saya perlu bicara sama kamu." Tulis Aurellie, tapi dia mengurungkan niatnya untuk mengirim pesan singkat itu pada Michelle. Aurellie tampak meremas wajahnya frustasi, mengingat kata-katanya pada Michelle "Nggak seharusnya aku ngomong begitu sama Michelle." Aurellie tampak menarik nafas panjang "Aku terbawa emosi waktu itu."
***
Tiba-tiba pintu di ketuk
"Bee." Michelle masuk keruangan, bapak dan ibu Devan sudah tampak tidak ada di ruangan "Kemana bapak sama ibu?"
"Mama kamu tadi datang, mama kamu minta bapak sama ibu nginep di rumah kamu."
"Serius?" mata Michelle berbinar.
"Iya."Devan menaikkan alisnya.
Michelle meletakan tasnya, lalu mengeluarkan sesuatu dari sebuah kotak "Cheese cake." Michelle mengeluarkan sepotong.
"Saya nggak suka keju." Devan menolak.
"Hah?" Alis Michelle bertaut. "Tapi ini enak banget."rayu Michelle.
Devan menelan ludah sebelum akhirnya membuka mulutnya, dia mengigit sedikit potongan cheese cake dari tangan Michelle.
"Enak?"Mata Michelle berbinar.
"Luamayan." Devan menjawab setelah bersusah payah menelan.
"Mau lagi?" Michelle menyodorkan potongan itu lagi pada Devan, dan secepat kilat Devan menolak "Cukup." Tolak Devan.
Michelle mendekati Devan dan dengan satu gerakan cepat mencium pipi Devan. Mata Devan terbelalak menatap pada Michelle, sementara Michelle tampak tersenyum "Kalu yang itu mau lagi?" Mata Michelle semakin berbinar.
Devan tampak menelan ludah, dengan malu dia menjawab "Boleh." Seketika Michelle menghambur ke pelukannya.
"Auw.." Devan meringis kesakitan.
"Sorry sorry." Michelle menarik diri, menatap khawatir pada Devan. "Di sini masih sakit," Devan menunjuk pada perutnya.
Michelle tampak semakin khawatir, dia segera meletakan potongan Cheese Cake di dalam kotak. Lalu berbalik menatap Devan "Maaf ya."
"Di sini nggak sakit kok."Devan menunjuk pada sisi lain pipinya. Seketika Michelle merona, menutupi bibirnya dengan telapak tangannya. Dengan satu gerakan lembut Michelle mencium pipi Devan. Pria itu tampak menutup matanya, menikmati kecupan Michelle. Begitu juga Michelle, seolah begitu menikmati mencium Devan.
***
Ruang praktek Aurellie.
Aurellie tampak sibuk memandang sebuah berkas ketika Hamish tiba-tiba masuk ke ruangan dengan buket bunga besar.
"Selamat malam Dok." Hamish menyapa Aurellie santai.
"Saya hampir pulang lho tadi." Aurellie tampak melihat jam tangannya sekilas.
"Metik bunga dulu tadi." Hamish menyodorkan bunga itu pada Aurellie, dan gadis itu tampak terkejut.
"Ini sogokan buat saya?" Alis Aurellie bertaut.
"Anggap saja begitu." Hamish tersenyum.
"Ok, kita langsung ke ruang pemeriksaan X-Ray." Aurellie tampak bangkit dari tempat duduknya setelah meletakan buket bunga itu di meja belakang kursinya.
"Ok."
***
"Tulang ini sudah menyambung sempurna, jadi pertama kita akan angkat yang ini." Aurellie tampak menunjuk pada sebuah gambar rontgn di hadapannya.
"Apakah rasannya sakit?"Hamish tiba-tiba berubah ekspresinya.
"Kamu takut?" Tiba-tiba tatapan Aurellie berubah iba.
"Saya sudah lupa, sudah lama."
"Nggak akan sakit kok." Aurellie meraih tanggan Hamish. Tiba-tiba senyum Hamish tampak tertahan.
"Kok senyum-senyum?" Alis Aurellie bertaut.
"Perasaan kamu halus sekali."Hamish tampak tersenyum lebih lebar "Saya tidak takut." Hamis membalik posisi tangan Aurellie, sehingga tanggan munggil itu berada di genggamannya. Aurellie terlihat kikuk.
"Saya yakin tanggan ini akan membantu saya terbebas dari semua penderitaan yang harus saya tanggung bertahun-tahun, hidup bersama delapan pen di dalam tubuh saya."
"Sorry." Aurellie menarik tangannya.
"Ok, apa masih perlu pemeriksaan lain malam ini?" Hamish tampak menatap Aurellie.
"Cukup. Kita akan jadwalkan operasinya minggu depan." Aurellie berusaha terlihat profesional meski jujur dia juga sangat gugup berada di hadapan pria ini.
"Saya lapar sekali, saya yakin kamu juga belum makan, gimana kalau kita makan bareng." Hamish menawarkan.
"Em... Sorry, tapi saya harus pulang."
"Apa saya baru saja di tolak ?" Hamish menyipitkan matannya pada Aurellie.
"Enggak."
"I'm suffer so please help to heal my worries about surgery."Hamish setengah memohon, Aurellie menarik nafas panjang. "Oke." Akhirnya dia mengiyakan.

120 Days #Googlrplaybook #JE Bosco PublisherWhere stories live. Discover now