Aroma sup kacang merah yang setengah matang membuat perut Jungkook sedikit keroncongan, tetapi dia bisa menyantapnya setelah selesai mencuci pakaian, jadi dia hanya berlalu meninggalkan Seokjin, masuk ke dalam kamar Jimin tanpa keraguan sedikit pun, sebab Jimin sedang tidak berada di sana.

Ada dua tas besar di sisi tempat tidur. Jungkook membuka tas pertama yang hanya berisi beberapa obat serta baterai cadangan. Beralih pada tas kedua Jungkook menemukan apa yang dia cari, tetapi seperti baru saja membuka jackpot, pemuda itu menemukan ponsel Jimin yang tertinggal.

Benar-benar ceroboh, pikirnya.

Alih-alih mengambil kemeja yang dimaksud, Jungkook justru lebih tertarik pada ponsel Jimin. Untuk sesaat yang krusial, Jungkook benar-benar melupakan tujuannya masuk ke tempat itu. Diam mematung dengan isi kepala yang terlihat seperti benang kusut. Keranjang pakaian kotor tadi diletakkannya di atas lantai, sementara dia masih setia berdiri di sisi tempat tidur, menggenggam ponsel Jimin yang terbuka hanya dengan sekali upaya peretasan yang dilakukan Jungkook.

Oh, tidak. Apa yang Jungkook lakukan itu legal, sebab pada kenyataannya Jungkook tahu apa kata sandi untuk mengaksesnya ponsel tersebut. Jimin sendiri yang memberitahunya dulu, omong-omong. Ternyata sandinya tidak berubah.

Jungkook menggulirkan jemarinya pada papan bidang pesan, menemukan sebuah percakapan teratas yang terlihat menarik perhatian. Tangannya secara terburu-buru membuka dan kembali menggulirkan pesan di sana, termasuk ikut meraih ponsel miliknya sendiri di dalam kantung celana, seraya memotret beberapa hal penting yang dia dapat.

Isi kepalanya tidak berjalan dengan baik, ada banyak hal yang mensugesti isi kepalanya. Tetapi daripada hanya terus berdiam diri, Jungkook lantas membenahi kekacauan yang ia buat barusan, meletakkan semua hal di dalam sana, persis, seperti pertama Jungkook menemukannya. Dia bahkan melupakan kemeja Seokjin yang seharusnya dimasukkan ke dalam keranjang kotor.

Dia begitu terburu-buru saat selesai, ada perasaan was-was, sedikit takut jika Jimin tiba-tiba datang dan menangkap basah hal apa yang tengah dia lakukan. Untungnya, bahkan sampai Jungkook selesai meletakkan keranjang baju kotornya di tempat pencucian baju dengan sedikit melemparnya, Jimin belum juga datang.

Seokjin mendengar Jungkook berlarian di sekitar dapur sejak tadi, sementara pemuda itu tengah memindahkan sup kacang merah ke atas mangkuk. "Apa yang kau cari?" Tetapi, ketimbang mendapatkan jawaban, Seokjin bahkan semakin bingung saat melihat Jungkook kembali melewati dapur dengan pakaian yang jauh lebih rapi dari pakaian rumahan yang ia pakai sebelumnya. "Hei, hei, hei. Mau kemana?"

Jungkook tidak menyiapkan kebohongan untuk mengelabui Seokjin sebelumnya, dia berbalik sebentar saat mencoba menelan sesendok sup kacang merah hangat buatan Seokjin. "Pewangi pakaianku habis. Aku akan ke mini market sebentar."

Seokjin adalah tipikal pemuda yang cukup mudah untuk dikelabui. Menipunya dengan sedikit usaha rupanya benar-benar tidak membuat energi Jungkook terkuras.

Setelah benar-benar meyakinkan Seokjin bahwa ia akan kembali sesegera mungkin, Jungkook justru berlari menuju basement dengan begitu terburu-buru. Dia cukup beruntung rupanya, sebab kunci mobil miliknya tergeletak begitu saja di atas nakas setelah beberapa hari ini disita oleh Namjoon dengan alasan agar Jungkook dapat memikirkan apa jalan keluar yang baik untuk menyelesaikan semua masalah ini.

Ya, Jungkook sudah mendapatkannya. Dia sendiri tidak mengerti harus melakukan apa diawal, hanya saja dirinya merasa perlu untuk terlibat lebih jauh. Setidaknya, dia harus bertanggung jawab atas apa yang sudah ia lakukan.

Setelah mengecek kembali alamat Seolbi yang sempat ia curi dari ponsel milik Jimin, kakinya menekan pedal gas secara terburu-buru. Sementara ban mobil berdecit, menggesek permukaan aspal yang basah sisa tangis langit, Jungkook rupanya tengah menggenggam setir dengan kecemasan menggantung di atas pundak.

Apa yang akan aku katakan? Apa dia baik-baik saja? Apa aku bisa menemuinya?

Banyak pertanyaan memenuhi kepalanya, daripada memikirkan reaksi yang akan ditunjukkan oleh Jimin atau Seolbi sendiri, Jungkook justru lebih khawatir jika gadis itu hidup dengan beban yang menyiksa. Apa dia makan dengan baik? Pikirnya sekali lagi, dan setelah benar-benar memantapkan hatinya, Jungkook semakin menekan pedal, menambah kecepatan hingga merasa tengah berada di area jalanan pribadi miliknya.

Sedikit beruntung, sebab nyatanya tempat tinggal gadis itu nyaris tak cukup jauh dari dorm mereka, untuk itu Jungkook tidak banyak membuang waktunya sedang dia mencoba menata isi kepalanya begitu turun dari dalam mobil, sedikit diserang gugup, tetapi langkahnya dipacu cukup terburu-buru. Jangan sampai ada yang melihatnya berkeliaran di sini, pikirnya.

Jungkook tiba di lobi apartemen tanpa menarik perhatian, dia hanya menggunakan masker hitam dan topi hitam yang sesungguhnya sedikit mencolok, berjalan dengan lebih cepat menuju lift. Tepat saat ia hendak menekan tombol lift, pintu lift terbuka dan ia nyaris bertatapan dengan Park Jimin yang rupanya hendak keluar dari dalam sana. Jungkook yang gesit justru secara cepat membawa tubuhnya bersembunyi di balik tembok di dekat lift yang benar-benar terbuka, matanya menatap Jimin yang berjalan lesu keluar dari dalam lift.

Matanya terlihat lelah, dan untuk sesaat yang krusial, Jungkook menyadari bahwa Jimin benar-benar kehilangan banyak dari berat badannya.

Kira-kira beberapa menit setelah Jimin menghilang dari area loby, barulah Jungkook keluar dari tempat persembunyiannya, masuk ke dalam lift dengan cepat dan tiba di lantai apartemen Seolbi yang lenggang.

Mencoba mencocokkan nomor apartemen dengan sisa ingatan yang masih membekas di dalam kepalanya, Jungkook berusaha mengatur detak jantungnya yang mulai menggila. Dadanya tiba-tiba terasa sesak, untuk itu ia berhenti sejenak demi mengembalikan sisa keberaniannya yang mulai terkikis habis.

Tidak apa-apa, Jungkook, tidak apa-apa. Kau sudah berada di sini, tidak ada cara paling baik untuk kembali, pikirnya.

Menemukan pintu yang tepat, Jungkook sekali lagi mencoba menata hati. Dia hanya akan menemui Seolbi sebentar, jika beruntung, dia mungkin akan berbagi beberapa hal agar situasi diantara mereka jauh lebih baik. Barangkali Seolbi memiliki jalan keluar yang baik dalam masalah ini. Telunjuknya menekan bel dengan sedikit cemas, berulang kali mengembuskan napasnya, sementara telapak tangannya berkeringat.

Perlu setidaknya lima menit untuk memastikan keadaan di sana cepat berubah. Jungkook dapat mendengar suara pintu yang dibuka dari dalam, dia baru saja meyakinkan dirinya, tetapi ketika tatapan mereka bertemu, bagaimana ingatan serta kilas balik itu berputar di tengah-tengah mereka seperti tengah menonton sebuah film, dada Jungkook mencelos.

Gadis itu berantakan karena dirinya.

Seolbi hampir berteriak histeris saat itu, jika Jungkook tidak lebih dulu menerobos ke dalam apartemen kemudian menarik tubuh ringkih itu masuk ke dalam dekapannya. Keduanya jatuh bersimpuh di atas lantai yang dingin, sementara Jungkook berusaha menerka alasan pasti ia memeluk Seolbi, gadis itu justru terisak hebat, berusaha melepaskan diri dari dekapan Jungkook.

"Lepas! Kubilang lepas!" Seolbi menjerit histeris, sementara Jungkook yang mendengar hal itu justru semakin mempererat dekapannya.

Dadany bergemuruh dipenuhi perasaan bersalah, Jungkook nampaknya mengerti dengan benar hal selanjutnya yang akan ia katakan, sedang ia juga jatuh tenggelam dalam tangis yang hebat.

"Maaf. Maafkan aku, sungguh maafkan aku. Kumohon, dengarkan aku."

Sore itu, ketika senja menggantung manis di atas langit, ketika airmata mereka menyatu, Jungkook paham bahwa ikatan emosi diantara mereka secara otomatis terbentuk. "Aku datang untuk bertanggung jawab. Jadi, apa kau mau menerimaku?"<>

a/n.
Banyak adegan dari versi lama yang bakal muncul di chapter selanjutnya, hanya kalimatnya saja yang mungkin berubah. See you soon!

End And Beginning (Re-write)Where stories live. Discover now