02 . Crying A Lot

Mulai dari awal
                                    

"Hyung, bolehkah aku menemuinya?"

Hal itu yang bisa ia ucapkan selanjutnya, tidak ada hal yang lain, Jungkook hanya ingin menemui gadis itu. Dia ingin melihat bagaimana keadaannya, dia hanya merasa bodoh akhir-akhir ini dengan merasakan bahwa ikatan emosi mereka mulai terikat. Padahal Jungkook sudah mencarinya berulang kali melalui media sosial, tetapi tidak ada penelitian yang membuktikan bahwa hubungan seks dapat mengikat emosi dua pribadi, tidak, seperti apa yang tengah dia rasakan saat ini.

Jungkook ingin menemuinya, memperhatikan tiap jengkal tubuh gadis itu dengan baik, bukan dengan tingkat kemesuman yang tinggi, dia hanya ingin mengenal gadis itu cukup baik, tetapi lebih dari semua itu, Jungkook hanya benar-benar penasaran bagaimana jadinya gadis itu setelah semua ini berlalu. Apa yang ia makan? Apa yang dia lakukan? Cara apa yang bisa dia lakukan untuk membunuh ingatan itu? Atau lebih dari semua itu, bagaimana cara dia kembali melanjutkan hidup?

Jungkook hidup di dalam neraka selama tiga hari belakangan ini. Hanya duduk dan beraktifitas dengan tenaga yang dipaksa. Sesungguhnya isi kepala pemuda itu kosong, benar-benar kosong, sejauh ini hal baik yang masih otaknya produksi hanyalah menjalankan hidup seperti biasa, padahal ketika dia terjaga bersama rasa bersalah setiap malamnya, Jungkook selalu berusaha menjaga pikirannya untuk tidak berubah gila, memikirkan kunang-kunang berwarna kuning merah muda berdiri di atas jendela asrama, tidak, itu bukan hal yang sebenarnya terjadi.

Tidurnya tidak pernah nyenyak, Jungkook seperti selalu dihantui rasa bersalah, seolah-olah dia tidak akan bisa tidur dengan tenang jika masalah ini tidak dapat diselesaikan, dan entah mengapa Jungkook merasakan bahwa dia baru saja masuk ke dalam neraka yang sesungguhnya. Hidupnya baru saja dikutuk.

Namjoon tiba setelah Jimin menutup pintu sekitar hampir setengah jam. Dia datang dengan tekanan menggantung hebat pada puncak kepala. Diletakkannya coat hitam di dekat sofa tempat Jungkook duduk dengan pandangan kosong. Tangannya memijat pelipis, merasa bahwa masalah ini harus segera diselesaikan denngan baik, dengan semua pihak agar setidaknya hidup diantara mereka kembali jauh lebih tenang.

Dia baru saja kembali dari perusahaan, duduk di atas kursi panas selama hampir tiga jam, membahas banyak hal yang akhirnya diketahui oleh pihak lain. Ada Sejin dan Bang PD di sana saat dia menjelaskannya. Semuanya sama terkejut, tidak menyangka dengan insiden buruk yang baru saja mereka lalui, lebih tepatnya yang Jungkook lakukan.

Bang PD bahkan harus diam menahan sakit yang terasa menusuk permukaan dadanya saat mendengar detailnya dari Namjoon.

Pemuda itu menceritakan segala sesuatunya tanpa jeda sedikit pun. Tanpa sesuatu yang harus dikurangi atau sesuatu yang dilebihkan. Dia menceritakannya utuh, seadanya seperti yang dia dapat dari Jungkook dan dari Jimin, sedangkan yang Bang PD dan Sejin lakuka hanya duduk diam bersama napas tertahan.

"Kook," namanya dipanggil, Jungkook menoleh dengan mata bulat yang Namjoon ingat dulu begitu berbinar. Namjoon harus mengatakan hal ini, untuk itu dia memejamkan mata, menenangkan dirinya sendiri meski mati-matian menahan kepalanya untuk tidak pecah menjadi kepingan yang kecil.

"Pihak manajamen ingin menemuimu. Bang PD ingin kau menemuinya besok secara pribadi."

***

Park Jimin tidak pernah melewatkan setiap kesempatan yang dia miliki untuk meletakkan begitu banyak perhatian pada gadisnya. Kendati jauh, Jimin berusaha untuk tetap terhubung.

Di saat kritis sekali pun, saat mereka bertengkar atau bahkan keduanya duduk di atas sebuah masalah, Jimin selalu meletakkan komunikasi mereka pada daftar peetama di dalam kepalanya.

Bagi dirinya, hubungan jarak jauh itu sulit, tetapi lebih dari itu semua, ketimbang waktu bertemu yang sangat sulit dia dapatkan, Jimin hanya tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi di antara mereka. Seolbi pernah meminta satu hal yang tidak ingin dengar seumur hidupnya. Sebuah kata yang bahkan tidak ingin Jimin simpan di dalam kamus pembendarahan katanya.

Dia meminta saat Jimin benar-benar berhasil debut bersamanya. Tetapi Jimin bersikeras untuk tidak menyetujuinya.

Seolbi adalah energinya, semangatnya untuk tetap bertahan selama masa pelatihan. Satu-satunya alasan lain selain orangtuanya untuk dia tetap bertahan. Singkat kata, Jimin sangat mencintai Ahn Seolbi untuk apapun, bahkan untuk seluruh hidup yang bahkan Jimin tidak mengerti.

Kepalanya sejak tadi hanya tertunduk. Irisnya tidak menatap sepatu atau lantai di bawah sana. Pandangannya kosong, tetapi genangan air pada pelupuk mata adalah alasan pasti ia berdiri memaku kedua tungkai tepat di depan pintu apartemen milik Seolbi.

Ini hampir lima belas menit, tetapi Jimin sama sekali tidak mampu bergerak. Tangannya hanya menggenggam surainya dengan tarikan hebat, bibir bawahnya habis digigit sampai Jimin dapat merasakan besi berkarat tercecap lidahnya.

Dia menangis semampu yang ia bisa, dadanya terluka, Jimin menengadah, mempertemukan irisnya dengan langit-langit koridor yang lengang seraya menggeleng pelan, dia harus kuat.

Bagaimana pun terlukanya Jimin, pemuda itu tahu individu yang paling menderita di sini adalah Ahn Seolbi.

Untuk itu Jimin hanya kembali berusaha terlihat jauh lebih baik, meski getaran pada punggungnya masih belum berkurang. Dia menekan kombinasi password apartemen yang Seolbi berikan padanya tempo hari, masuk dengan suara yang dipelankan.

Kakinya melangkah lebih dalam, ruang tengah tampak lengang, keadaan di sana bersih, bahkan sangat rapi seolah-olah Seolbi membersihkan tempat itu hampir setiap saat.

Kepalanya berbalik menatap pantry yang kosong, beranda di dekat tubuhnya juga kosong, hanya tirai yang dibiarkan terbuka serta televisi yang masih menyala.

Jimin melangkah cukup hati-hati menuju kamar, telinganya menangkap suara shower yang dinyalakan, aliran air yang menghantam permukaan lantai, dan suara lain yang membuat perasaan Jimin mendadak berubah takut.

Dia berlari cepat menuju kamar mandi, sedikit mendobrak pintu dengan kekuatan yang dipaksa.

Pintu terbuka, Jimin yang sempat melebarkan irisnya untuk beberapa detik yang singkat berlari menyongsong tubuh Seolbi yang habis diguyur air panas yang mengalir dari keran air yang dibiarkan menyala. Jimin menemukan gadis itu dengan lubang telinga mengeluarkan darah.

Sekujur tubuhnya memerah, panas, dan berdarah. Jimin bahkan melihat beberapa jejak merah kental yang melebur bersama air terbawa pergi menuju lubang pembuangan.

Tidak ada hal lain yang Jimin pikirkan saat itu delain handuk yang diraihnya cepat, keran air yang dimatikan, dan membawa tubuh wanitanya yang basah serta panas menjauh dari dalam batup yang masih tergenang air panas, darah yang menggumpal dimana-mana.

"A-apa yang kau lakukan?!"

Seolbi hanya menarik sudut bibirnya pelan, menatap Jimin dengan pandangan lemah seraya mengangkat kedua lengannya ke udara.

"Mereka bilang kotoran harus dibersihkan, Jim. A-aku hanya mandi agar tubuhku bersih, air panasnya mampu menghilangkan bakteri. Lihat, aku bahkan mengorek telingaku cukup dalam agar seluruh kotorannya menghilang."

Seolbi hendak bangkit dengan sekujur tubuh yang tiba-tiba bergetar. "A-aku harus mandi, Jim. Aku harus bersih. Kau tidak bisa menemuiku dengan tubuh kotor seperti ini, hm. Tunggu aku beberapa menit, aku akan kembali setelah membersihkan tubuhku. Aku harus menggosok punggungku kali ini, leher juga, mungkin juga wajah dan bibirku."

Tidak ada yang Jimin lakukan selain menarik tubuh rapuh itu ke dalam dekapannya meski Seolbi berusaha begitu keras untuk melepaskannya. Dia berulang kali mengatakan pada Jimin untuk melepaskan tubuhnya, dia kotor, dia belum mandi, dan Jimin tidak boleh memeluk tubuhnya kotor. Seolbi bahkan berulang kali memukul punggung lebar yang tengah memeluknya erat, terisak meski ia juga tertawa, mengatakan pada Jimin berulang kali tentang ia yang harus mandi.

Awan menggantung mendung saat itu, musim gugur disertai hujan akan segera datang. Suasana di dalam sana jauh lebih senyap saat Jimin menemukan Seolbi jatuh tertidur di dalam dekapannya, tetapi tidak dengan dirinya. Jimin kembali menyiksa dirinya, menangis hebat tanpa suara saat melihat luka lecet dan berdarah yang memenuhi tubuh Seolbi, tubuhny merah terkelupas akibat air panas dan Jimin semakin diserang oleh rasa bersalah.

Suara Jimin yang sedikit bergetar akibat terisak terdengar lemah. Ia berkata dekat sekali. Bibirnya menyentuh telinga Seolbi ketika berbicara, tubuhnya mendekap semakin erat, napasnya terdengar cukup sulit saat mengatakan, "Aku berusaha begitu keras untuk tidak menangis, tetapi aku rasa ketika melihatmu seperti ini aku akan menangis cukup keras untuk menyesali seluruh hal buruk yang terjadi padamu."<>

End And Beginning (Re-write)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang