BAB 53

3.4K 309 143
                                    


"Kamu lagi mikirin apa?"

"eh," aku terkejut ketika suamiku tiba-tiba keluar dari kamar mandi. "Enggak, tadi ada satu pertanyaan saat kita ada fun meeting dengan IVF surviver, tentang pandangan dari agama kita soal IVF atau ibu Surrogate." Ibu Surrogate adalah ibu pengganti yang meminjamkan rahimnya untuk mengandung bayi orang lain.

"Terus?"

"Aku nga bisa jawab."

Kudengar dia berdehem. "Sebelum saya mengambil keputusan besar itu, saya sudah memikirkannya lebih dari satu juta kali. Mencari tahu tentang semua hal."lanjutnya sambl meletakkan kembali ponselnya setelah sempat memeriksanya sebentar.

"dalam Donum Vitae yanng dikeluarkan tanggal 22 Februari tahun 1987, saat itu ada beberapa pertanyaann muncul terutama tentanng inseminasi buatan, bayi tabung, dan ibu surrogate, memang saat itu dikatakan bahwa hormat akan hidup manusia pada awal kejadiannya dan keluhuran membuat keturunan. Secara tidak langsung itu seperti tidak mendukung semua langkah tadi." Dia berbicara sambil naik ke atas ranjang, lalu membetulkan posisinya berbaring menghadapku.

"Tapi jaman berkembang, dan Gereja Katolik selalu terbuka untuk pandangan yang lebih baik menngennai dunia modernn meski tidak meninggalkan yang hakiki."

"Jadi?" alisku bertaut.

Dia berdehem, menatap tajam padaku"Banyak ahli bioetika dan ahliteologi moral Katolik menilai positif inseminasi homolog, atau inseminasi dengan sperma dari suami sendiri."

Kami saling menatap, aku jelas menatap suamiku ini dalam sebuah kekaguman, bagaimana dia berpikir seribu kilometer lebih jauh sebelum dia memulai langkah pertamanya, dan aku selalu terpesona dengan pola pikirnya.

"Selain itu mereka juga tidak melihat adanya keberatan mengenai pembuahan homolog di luar kandunga asal dijalankann untuk mengatasi sebuah kemandulan." Lanjutnya.

Aku masih tidak bisa berkomentar untuk apa yang dia katakan, dia tersenyum sekilas padaku, menarik nafas dalam lalu melanjutkan "Tapi pada intinya semua pihak menegaskan bahwa hubungan suami isteri, yang menurukan anak, bukan hanya kesatuan fisik semata-mata, melainkan pertama-tama dan sedalam-dalamnya adalah hubunga pribadi yang meliputi hidup seluruhnya."

"Hubungan seksual dan prokreasi atau hubungan biologis harus dilihat dalam konteks keseluruhan hidup pribadi. Semua didasari cinta kasih." Dia menyelesaikan penjelasannya, kemudian mengusap wajahku.

"Setiap agama memiliki pandagan tersendiri tentang semua itu, dan itu bagian dari keimanan kita masing-masing. Jadi tidak pernah ada jawaban mutlak untuk pertanyaan itu sayang, nga usah di pikirin terlalu dalam." Dia meraihku dalam pelukan.


Cekrek...


Tiba-tiba pintu kamar kami terbuka, kami berdua hampir terlonjak ketika melihat kedua malaikat kecil kami tampak berdiri di kejauhan, melipat tangan di dada, menatap kami. Aku tersenyum, ini adalah malam pertama bagi mereka untuk tidur terpisah dari kami, dan baru sekitar sepuluh sampai limabelas menit aku meninggalkan mereka dalam keadaan tertidur dan sekarang mereka sudah kembali ke kamar kami.

"Hei, kok kebangun?" Suamiku dengan sigap membawa merkea naik ke ranjang dengan mengendong mereka bersamaan satu di kiri dan satu di kanan.

"Bunda kok tinggalin kami sih?" Marcello tampak protes dengan menautkan alis tebalnya.

"Lho kan kalian udah bobok." Aku jelas mencari alasan.

"Kenapa sih bun, kami harus bobok di kamar sebelah. Kenapa nga bobok sama bunda sama ayah aja?" si centil Aurellie tidak mau kalah.

"Karena kalian kan sudah besar." Bang Jo menimpali.

"Jadi kalau udah besar harus bobo sendiri?" Aurellie tampak tidak puas dengan jawaban ayahnya.

Jonathan & Aya #Googleplaybook #JE Bosco PublisherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang