BAB 33

2.6K 266 73
                                    

BAB 33


Saat pikiranku sedang sangat kalut tiba-tiba ponsel yang kuletakan di sampingku duduk,di ranjang,bergetar. "Kesayangan memanggil"


"Halo." Aku mengangkat telepon darinya.


"Kesa-" kalimatnya terpotong. " ada masalah?" tiba-tiba dia menyadari bahwa aku tidak memanggilnya dengan sebutan kesayangan.


"Enggak." Jawabku singkat, meski itu adalah sebuah kebohongan besar.


"Kamu kenapa? Bilang sama saya?"


"Saya capek." Jawabku singkat.


"Saya ada di depan pintu apartment kamu." Dia membuatku hampir terlonjak karena terkejut. Tapi entah mengapa aku tidak ingin segera berlari untuk membukakan pintu untuknya.


"Kalau kamu belum tidur saya mau bicara."


Kenapa sekarang? Selarut ini? Setelah aku mendengar semua di rekman itu? Mengapa tidak menjelaskan sebelum aku tahu dari rekaman itu? Kita punya cukup banyak waktu dari coffe shop tadi sampai di rumah, ya meski tadi kami sempat mengantar mba Arva dulu sih memang.


"Kamu lagi mikir apa? Atau kamu mau saya nunggu di depan pintu berjam-jam baru kasihan sama saya?" terdengar suaranya kembali. Dan akhirnya aku mengalah, sambil memegang ponsel di tangan kiriku, aku berjalan ke arah pintu depan, lalu kubuka pintu.


Dia tampak membawa bungkusan dengan kantong plastik saat pintu terbuka penuh, aku mematikan ponselku lalu berbalik, saat tatapannya yang tampak bingung padaku tertangkap oleh sudut mataku sebelum aku berbalik, tapi dia tidak banyak bicara. Sepertinya dia juga segera memasukan ponselnya dalam saku celana.


Aku berdiri di suatu tempat dan entah mengapa aku memilih berdiri di dekat dinding yang memberi sedikit jarak dari sofa.


Dia meletakan bungkusann di meja, lalu menggulung kemejanya, masuk ke toilet untuk mencucimuka dan tangannya. Kemudian keluar lagi tanpa menatapku, berjalan kearah belakang, ke dapur, mengambil dua buah piring, satu mangkok, sendok, garpu, membawannya ke meja depan, lalu kembali dengan satu botol air mineral dari dalam lemari pendingin, dua buah gelas. Dia duduk di sofa, sibuk membuka dua buah kotak berisi bakmie, dan satu bungkus fuyunghai, juga udang goreng tepung lengkap dengan saus asam manisnya.


"Kamu mau berdiri di situ terus?" dia mendongak menatapku, sementara aku justru kebingungan, apakah pria ini benar-benar akan menikahiku dalam waktu dekat? Atau didalam hatinya masih ada tempat untuk masalalunya yang bernama Christina Arvanty.


Dia berdiri lalu menarikku untuk duduk di sofa "Makan." Perintahnya, semenntara aku justru hampir menangis, ternyata dia tidak melupakan bahwa kami belum makan sedari sore tadi. Meski ini sudah cukup larut. "Kita akan bicara setelah makan." Dia bicara setelah berdoa di hadapan sepiring bakmie. Kurasa dia membeli semua ini dari warung seafood langganannya.


Dia tampak melahap makanannya sementara aku masih menatapnya "Saya nga bisa makan kalau kamu masih terus ngliatin saya seperti itu."Dia membalas tatapanku. "Makan." Dia menyodorkan garpu berisi lilitan mie ke hadapanku. Aku menatapnya, dia tampak menarik bibirnya dalam satu garis keras dan itu merupakan tanda bahaya bagiku, aku membuka mulutku, dan akhirnya memakan mie itu. Mengunyahnya perlahan, tapi saat mie itu masuk sampai ke lambungku, aku baru merasakan sedikit sensasi "Krenyes-krenyes" dalam perutku. Kurasa aku kelaparan sejak tadi.


Setelah kami selesai makan aku segera menyibukan diriku degan membereskan perkakas yang terpakai untuk makan tadi. Dia tampak berjalan menyusulku, tapi tidak mendekatiku, dia berhennti di meja minibar dibelakang wastafel tempatku mencuci piring.


"Kenapa kamu nga mau bicara sama saya?" pertanyaanya membuatku hampir terlonjak. Aku tidak tahu apakah aku harus berkata jujur atau tidak tentang sesuatu yang kuketahui, tapi aku mengetahuinya dengan cara yang bodoh.

Jonathan & Aya #Googleplaybook #JE Bosco PublisherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang