"Kau terlihat lebih cerah dan terurus," ucap Jihoon akhirnya. Karena Wonwoo tidak kunjung menjawab. Justru berulang kali mendengus.

Jihoon tidak memaksa Wonwoo. Karena ia tahu, Wonwoo pasti akan mengatakan semuanya. Hanya dirinya tempat Wonwoo menumpahkan keluh kesahnya. Jadi Jihoon tetap sabar menunggu Wonwoo melanjutkan kalimatnya. Ia meraih minumannya yang sama sekali belum tersentuh. Menunggu Wonwoo membuat tenggorokanya terasa kering.

"Aku sudah menikah!"

"Uhuk ... uhuk ... uhuk ..."

Jihoon terbatuk hebat. Minuman yang baru saja mengalir terasa mencekiknya. Sampai tenggorokannya terasa panas. Kalimat Wonwoo membuat matanya sipitnya membulat sempurna.

"M-Menikah? Kau sudah menikah?"

Jihoon mencoba untuk tidak percaya. Menganggap ucapan Wonwoo hanya sebuah lelucon. Namun anggukan kepala, dan mata yang tampak sendu membuat Jihoon yakin.

"Tapi ... bagaimana bisa?" tanya Jihoon shock.

Selama ini Wonwoo hanya memikirkan pekerjaan. Sama sekali tidak peduli dengan pasangan. Saat teman-teman lainnya sibuk menyusun rencana saat valentine, Wonwoo justru menyibukkan dengan pekerjaan.

"Kau pasti tidak percaya kalau aku katakan, aku diculik di tengah jalan dan dipaksa menikah."

Jawaban Wonwoo membuat mata Jihoon semakin membulat. Rahangnya serasa akan lepas. Karena terlalu terkejut, jantungnya sampai berdetak terlalu kencang. Ia tidak sedang jatuh cinta. Tapi sampai membuat tangannya dingin.

"Ya Tuhan Wonwoo-ya." Jihoon kehilangan kata-kata. Ia sangat menyayangi Wonwoo. Mendengar Wonwoo menikah dengan paksa, membuat Jihoon sedih. Karena mereka dulu pernah punya rencana membuat pernikahan sederhana namun romantis dengan orang yang dicintai.

"Aku dulu pernah memikirkan mengerikannya sebuah pernikahan tanpa cinta. Dan sekarang aku merasakannya sendiri Jihoon-ah." Wonwoo terpekur menatap gelas di hadapannya. Masih menyesali takdir hidupnya yang begitu kejam.

Jihoon menutup mulutnya. Matanya memerah. Rasanya ia ingin menangis. Apapun yang berhubungan dengan Wonwoo, selalu membuatnya tampak lemah. Sebagai sahabat, mereka saling menyayangi. Meski perdebatan dan pertengkaran kecil selalu ada.

"Apa dia cantik? Dia baik?"

"Dia bukan wanita."

Jihoon menghembuskan nafasnya lega. Andai orang lain, Wonwoo pasti akan dihujat. Namun tidak dengan Jihoon. Karena ia sangat mengenali sahabatnya. Mengetahui pasangan Wonwoo adalah pria, membuat Jihoon sedikit mendesah lega.

"Dia tidak memperlakukanmu dengan buruk kan?"

"Kami seperti tidak mengenal," jawab Wonwoo singkat. Karena memang seperti itu kenyataannya. Meski mereka pasangan yang terikat tali pernikahan, namun mereka seperti orang asing. Hanya seranjang dan seatap yang membedakannya.

"Jadi, apa yang kau lakukan sekarang?" Jihoon menjauhkan minumannya. Ia serasa tidak berniat meminumnya. Kabar mengejutkan dari Wonwoo, membuat semangatnya menguar.

"Tidak ada! Aku hanya bisa mengurung diriku di rumah. Aku ingin kembali bekerja, tapi tidak ada yang menerimaku. Mencari pekerjaan benar-benar sulit," ucap Wonwoo frustasi. Mengingat pekerjaan membuat kepalanya semakin pusing. Lebih lama lagi ia hanya berdiam di rumah, bisa di pastikan kejiwaannya akan terganggu.

"Lalu apa pekerjaannya?"

"CEO di perusahaan besar."

"Wooooow!" Jihoon berseru kagum.

Namun setelahnya ia memilih diam. Tatapan tajam dari sahabatnya membuatnya urung melanjutkan kalimatnya. Ia tahu Wonwoo bukan pemuda yang gila harta. Dan ia yakin, semewah apapun kehidupannya, Wonwoo akan tetaplah menjadi Jeon Wonwoo yang ia kenal.

The WinnerDonde viven las historias. Descúbrelo ahora