Prolog

7.8K 446 43
                                    

"Cinta tidak akan membuatmu terluka terlalu dalam. Jika ya, mungkin kamu salah jatuh."
-Unknown

***

Aku terbangun, namun tak bisa melihat apa-apa. Sebuah kain menutup mataku. Gelap. Dan, yang kurasakan selanjutnya adalah rasa sakit di bagian tengkuk.

Aku mencoba menggerakkan tangan namun sia-sia, tanganku diikat ke belakang dan tubuhku dililit dengan kursi oleh sebuah tali. Begitu pula dengan kakiku.

Apa ini ... Aku di mana? Apa yang terjadi?

Hal terakhir yang aku ingat, sepulang sekolah aku berjanji untuk pergi bersamanya ke sebuah pameran catatan dan arsip-nya Pramoedya Ananta Toer. Namun di tengah perjalanan, taksi yang kutumpangi mogok dan kami berhenti di sebuah tempat yang tak kukenali. Aku turun dan mencoba menghubunginya. Hingga tiba-tiba seseorang memukul tengkukku dari belakang, kemudian membiusku, dan sekarang aku berakhir di siniㅡyang entah di mana.

Aku menggerakkan tubuh semampuku, berusaha membuat suara karena mulutku pun disumpal kain. Aku menggeram, berusaha mencari perhatian jika ada orang lain di tempat ini.

"Kau sudah sadar rupanya."

Aku tertegun sejenak.

Suara ini ... aku rasa aku mengenalnya. Tapi, apa mungkin dia? Tidak ... tidak mungkin.

Bisa kudengar suara derap langkah kaki mendekat, langkah yang santai dan teratur. Jantungku sudah berdegup tak karuan. Ketakutan. Berulangkali kulafalkan dzikir, tak hentinya memohon keselamatan pada Sang Kuasa.

Tenang Nay, kamu tidak sendiri. Hasbunalloh wa ni'mal wakil, ni'mal maulaa wa ni'man nashiir. Jangan takut, ada Allah bersamamu.

Aku berusaha menenangkan diriku sendiri. Tapi tetap saja, berbagai pertanyaan dan prasangka buruk berkecamuk di kepala.

Siapa dia? Apa yang dia inginkan? Kenapa aku ....

"Diamlah, aku belum melukaimu," ucap pria itu lagi karena aku tidak berhenti bergerak. Kini suaranya semakin jelas di telingaku.

Tidak mungkin dia.

Hingga ia melepaskan kain yang menyumpal mulutku. Napasku memburu, amarah yang melawan rasa takut.

"Siapa kau?"

Bukan menjawab pertanyaanku, dia malah tertawa sinis. Kemudian tangannya meraih kain yang menutup mataku. Dia membukanya. Dan saat itulah aku bisa melihat wajahnya. Tenggorokanku tercekat tanpa bisa berkata.

Dugaanku benar. Dia ... tapi, kenapa ...?

Aku masih terpaku menatapnya. Menatap wajah tampan yang selalu aku kagumi. Namun, tidak ada wajah ramah dan tatapan lembut ketika ia menatapku seperti biasa, tidak ada senyuman sederhananya yang selalu melemaskan sendi-sendiku. Yang aku lihat hanya wajah sinis dan dingin, tatapan penuh kebencian, dan senyum miringnya yang nampak mengerikan di mataku. Dia seperti orang yang berbeda. Dia bukan laki-laki yang aku sukai, bukan.

"Maaf karena mengikatmu seperti ini, aku hanya takut kau akan menyerangku dengan kemampuan sabuk hitammu." Dia tertawa renyah, puas dengan ejekan yang dia lontarkan. Tentu saja, dia tidak benar-benar takut padaku.

Allah..., apa aku telah salah jatuh?

***

Assalamu'alaikum.. Hai hai~ I'm back with new story! Aku nepatin janji kaan mau update Nayya di bulan Ramadhan 😌 walau udah mau berakhir, tapi kan masih bulan Ramadhan 😌😆 wkwkwk.

Baru kali ini loh aku nerapin genre teenfic 😅 tapi ... Tetep yaa aku masih dijalurku, gak bakal ke mana-mana kok. Wkwk. Moga suka sama ceritanya nanti. Buat kalian yang nungguin cerita Nayya anaknya double A nih for you 😘

Oh ya buat new readers mungkin nanti ada bagian yang gak ngerti karena ini sequel, jadi kalau bisa baca dulu The Dearest ya 😌 beli di toko buku 😂 #promosimodeon.

Udah ah, banyakan cuap-cuap nya dari pada prolognya ini mah 😂

Selamat menikmati ~ 😘

Salam hangat.

Tasikmalaya,
23 Juni 2017

Not A Love (Completed)Where stories live. Discover now