15. the medalion

59 14 0
                                    

Aku mengambil beberapa hari cuti setelah kejadian foto tersebut. Entah kenapa semenjak hari itu aku mulai mendapati diriku mengingat serpihan-serpihan kenangan sebelum aku kehilangan ingatan. Seperti, aku menyadari bahwa ibuku tidak meninggal sambil menggenggam tanganku seperti kata ayah. Aku belum sepenuhnya ingat, tapi aku yakin itu adalah yang sesungguhnya. Aku bahkan mulai merasakan bahwa Hyun woo bukanlah temanku sejak kecil. "Cindy" suara itu menyadarkanku dari lamunan yang terasa melelahkan. Aku tersenyum seadanya lalu menggeser tubuhku sedikit, membagi tempat duduk di sofa ruang tengah. "ada apa?" tanyaku tanpa mengalihkan perhatianku dari televisi. Aku menyukai acara variety di akhir pekan. Terutama acara-acara penuh tantangan atau misi khusus.

Aku bisa merasakan tatapan Hyun woo yang sangat pekat di sampingku. Setengah dari diriku ingin sekali mempercayai bahwa dia memang temanku sejak kecil karena memang begitu adanya, sejak aku berumur 12 tahun dia selalu ada di sampingku. Tapi entah kenapa aku merasa seperti ada sesuatu yang janggal. Aku masih ingat ketika ayah bercerita bahwa mereka pindah saat aku berumur 11 tahun. Lalu apakah selama satu tahun kami hanya diam meski bertetangga?, "beberapa hari kau tidak pergi bekerja?" tanya Hyun woo sambil menyandarkan punggungnya di sandaran sofa. Aku meneguk cola yang sejak tadi ku genggam lalu meletakkannya diatas meja dan meraih sebungkus makanan ringan. Aku mengangguk, "aku sedikit lelah." Jawabku sederhana. Aku melirik Hyun woo yang tertawa melihat acara di tv. Sejujurnya aku merindukan suara tawanya, saking sibuknya kami berdua hingga sudah lama sekali rasanya tidak menghabiskan waktu bersamanya seperti dulu. Kalau dipikir aku juga terlalu terpaku pada pemikiranku yang mencurigai Hyun woo.

Aku memutar tubuhku menatap Hyun woo lalu mengelus rambutnya, "aigoo.. kenapa saat mendengar kau tertawa aku merasa lega" ledekku. Hyun woo menjauhkan kepalanya dariku, tipikal laki-laki dirumah ini selalu seperti itu. Lee Joon dan Hyun woo tidak ada bedanya. Hyun woo mengangkat sebelah alisnya seakan mempertanyakan alasanku mengelus rambutnya. Aku mengidikkan bahu lalu tertawa sambil memasukkan makanan ringan ke dalam mulutku. "Hyun woo-a.." panggilku. Hyun woo memutar kepalanya dan menatapku. "bisa temani aku kembali ke rumah? Ada beberapa hal yang ingin ku periksa" jelasku. Aku baru ingat, banyak barangku saat kecil ada di rumahku yang berada di sebelah rumah Hyun woo. Kenapa tidak aku periksa. Mungkin saja dari situ aku bisa mendapatkan petunjuk tentang mimpi aneh yang tak kunjung hilang. Hyun woo mengangguk. Aku membulatkan mataku sambil tersenyum lalu bangkit dari sofa, "kita bertemu di depan 10 menit lagi. Oke?" aku segera melenggang ke kamarku.

Tepat sepuluh menit kemudian aku keluar dari rumah dan mendapati Hyun woo sudah berada di dekat mobilnya dengan menggunakan masker dan topi. "ayo" katanya sambil membuka pintu kabin pengemudi dan mengenakan kacamata hitamnya. Aku masih tetap berdiri di tempatku. Tanganku menggenggam erat tali tasku. Banyak hal yang harus ku satukan kebenarannya dan jika kebenaran dari semua ingatanku menyakiti seseorang, apakah aku akan menyesal?. Hyun woo membunyikan klakson mobilnya memintaku untuk segera masuk ke dalam mobil. Aku menyerah dengan pikiranku lalu masuk ke dalam mobilnya. Tidak mungkin aku tiba-tiba membatalkan permintaanku sendiri pada Hyun woo.

Selama perjalanan aku dan Hyun woo hanya membicarakan banyak hal yang sudah kami lewatkan karena sibuk. Seperti berapa episode acara variety kesukaan kami sudah terlewat, apakah drama kesukaanku sudah tamat atau bahkan pertanyaan konyol dari Hyun woo seperti tanggal berapa aku akan mendapatkan gajiku. "bukan urusanmu" jawabku malas sambil menatap keluar jendela mobil. Hyun woo terkekeh sendiri lalu menusuk-nusuk lenganku dengan jari telunjuknya. Aku mengerang kesal melihat tingkahnya yang seperti anak kecil sambil menjauhkan lenganku darinya dengan merapatkan tubuhku pada pintu mobil. Dia masih saja meneruskan kelakuannya. "hajima! Fokuslah menyetir!" desisku kesal, aku memukul tangannya lumayan keras. "eissh! Arasseo!" Hyun woo menarik tangannya kembali. Aku tersenyum menang.

Kami tiba di lingkungan rumahku. Rumah kami maksudnya. Karena rumah kami bersebelahan jadi sudah pasti ini lingkungan rumah Hyun woo juga. kakiku melangkah melewati pagar rumah yang terasa dingin. Kutatap sekeliling taman, disana masih tergantung dengan kokoh ayunan yang dipasang ayah ketika aku berumur 9 tahun. Di sudut taman terdapat bunga matahari yang sudah layu, dulu itu adalah bunga yang sangat dijaga ayah karena ibu menyukainya. Rasanya waktu bergulir begitu cepat, membawaku kembali merasa kesepian ketika aku menyadari tidak ada lagi kedua orang yang melukiskan kenangan sejak aku kecil.

Aku membalikkan tubuhku menatap Hyun woo yang mengikutiku dari belakang. Aku tidak ingin masuk ke dalam rumah bersamanya. Kupikir ini akan membuatnya sedikit kecewa jika dia tahu aku ingin membuktikan bahwa dia adalah temanku sejak kecil, "kau bisa pulang ke rumahmu.. aku ingin masuk sendirian" jelasku padanya. Awalnya Hyun woo mengerutkan dahinya dan menatapku lekat-lekat, tapi pada akhirnya dia mengalah lalu mengelus lenganku, "baiklah. Panggil aku jika kau sudah selesai" dia berbalik dan berjalan menuju ke rumahnya.

Setelah memastikan Hyun woo masuk ke dalam rumahnya, aku berjalan menuju pintu rumah lalu masuk ke dalam. Udara yang sangat dingin di dalam rumah membuatku semakin merasa kesepian. Aku menuju ruang tengah dan menyalakan lampu, kuletakkan tas dan coat ku di sofa. Mataku terpaku pada foto keluarga yang di pajang tepat di dinding sebelah kanan ruang tengah. Dimana ayah dan ibu duduk berdampingan dengan aku yang berdiri di tengah mereka. Mataku mulai memanas sekarang. Aku beranjak dari tempatku berdiri menuju kamarku. Ruang kosong ini masih menyisakan beberapa barang yang tidak begitu penting untukku, kata ayah. Sebuah kardus diatas lemari menarik perhatianku, sejak aku kembali dari rumah sakit setelah kejadian yang membuatku hilang ingatan, kardus itu sudah bertengger diatas sana. Ayah bilang itu hanya sesuatu yang tidak aku perlukan. Aku meraih kursi yang ada di depan meja rias lalu menjadikannya pijakan untuk mengambil kardus tersebut.

Kuletakkan kardus itu diatas tempat tidur tidak dilapisi bed cover. Kubuka perlahan dan kudapati isinya adalah beberapa barang yang entah kenapa membuat kepalaku sedikit pusing. Debu berterbangan dimana-mana, rasanya hidungku gatal. Ada sebuah album foto, surat-surat dan medali emas didalamnya. Dahiku berkerut menatap medali emas tersebut. Aku menariknya dan membaca tulisan yang terukir diatasnya 'taekwondo competition'. "ini milik si—" kepalaku semakin sakit. Aku memasukkan medali tadi kedalam saku celana, lalu aku meraih album foto berukuran kecil. Cover album itu dipenuhi tulisan warna-warni yang terlihat seperti tulisan anak-anak. 'kenangan kita!' 'aku dan Cindy!' dan disudut cover ada sebuah tulisan 'maafkan aku'. Tulisan yang ada disudut itu sedikit luntur karena basah. Aku membuka album fotonya sambil mengerutkan dahi. Kali ini kepalaku benar-benar sakit hingga kupingku berdengung tepat saat aku melihat sebuah foto dimana aku dan seorang anak laki-laki bermain hujan bersama.

Aku tidak tahan. Kepalaku terlalu sakit.

***

"cindy-a.. cindy-a! akhirnya kau sadar!" suara ahjumma memenuhi telingaku. Mataku sedikit sakit terkena cahaya dari lampu kamar. Ku pandangi sekelilingku untuk memastikan aku ada dimana. Aku berusaha bangkit dari tidurku tapi ahjumma menahan pundakku, "tetaplah seperti ini. Kupikir kau lebih baik perbanyak istirahat" ucapnya sambil menggelengkan kepalanya. Aku menghembuskan nafasku lalu kembali menyandarkan kepalaku di bantal. Ahjumma kembali duduk di kursinya dan meneruskan mengupas apel yang sudah setengah dikupasnya.

Aku memutar ingatanku sebelum aku berakhir dirumah sakit. Ah aku bersama Hyun woo pergi ke rumahku untuk mencari petunjuk mengenai ingatanku yang hilang lalu aku pingsan?. "ahjumma apa kau menemukan sesuatu di saku celanaku?" bajuku sudah berganti menjadi baju pasien. Ahjumma memutar matanya lalu mengangguk. Dia membuka lemari nakas yang ada didepannya lalu mengeluarkan sebuah medali emas. Aku menggigit bibir bawahku saat melihat ahjumma mengulurkan medali tersebut padaku. "kupikir itu milik Hyun woo karena aku yakin ini bukan milikmu tapi dia justru tidak tahu ini milik siapa" jelas ahjumma. Aku tesenyum dan mengangguk mengerti, ku ambil medali itu lalu memandanginya sesaat.

"itu milikku" sebuah suara yang familiar terdengar dari pintu kamar rawat inapku.

---

1

SLICE OF MEMORIES. [END]Where stories live. Discover now