15. Becca's Decision

486 101 4
                                    

Beautiful gifpicspam by ReeLyond

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Beautiful gifpicspam by ReeLyond

"Kau yakin ini perlu dilakukan?" Sudah terhitung ini adalah kali kelima Louis bertanya. Matanya tertuju ke depan, ke arah jalanan yang tidak bisa terbilang sepi namun mulutnya terus menanyakan hal itu kepadaku.

"Ya," jawabku singkat, berharap dengan itu Louis membungkam mulutnya.

"Kau yakin? Ini masalah di antara kita, kau yakin kita perlu pergi ke rumah Rebecca? Bagaimanapun juga, dia saudaramu, Apa kau tidak berpikir itu berlebihan?"

Aku menarik napas dalam-dalam kemudian mengeluarkannya secara perlahan. Bedebah satu ini! Kenapa dia sangat mengesalkan sekali? Tolong, ingatkan kenapa aku menyukainya?

"Louis, aku tahu apa yang harus kita lakukan. Sekarang, tutup mulutmu dan terus mengemudi!" kataku dengan penekanan di setiap kata, menahan diriku sendiri untuk tidak berteriak tepat di hadapannya. Aku hanya tidak ingin membuat ini semakin sulit dari seharusnya.

Louis akhirnya diam. Kurasa dia mulai menyadari bahwa pertanyaannya sudah membuat kemarahanku semakin meluap-luap. Dia hanya menganggukkan kepalanya dan terus memfokuskan diri untuk menyetir mobil.

Tak lama, mobil Louis berhenti menggelinding di jalanan. Benda ini berhenti tepat di depan sebuah rumah. Rumah itu nampak sama persis dengan rumah-rumah di sekitarannya, satu-satunya hal yang membedakannya adalah bagaimana perkarangan rumah itu sama sekali tak terawat dan terlihat ada yang salah dari salah satu jendelanya, jendela itu nampak akan pecah kapanpun dia mau, catnya juga sudah agak mengelupas, sangat berbeda dari rumah lainnya yang masih terlihat baik-baik saja.

Apa aku terkejut dengan keadaan rumah Rebecca? Sama sekali tidak. Aku tahu bagaimana mereka dan bisa dikatakan bahwa mereka menomor sekiankan sesuatu bernama kebersihan dan kerapihan. Tapi sepertinya hal berbeda dirasakan oleh Louis terbukti dengan bagaimana mulutnya terbuka.

"Kau yakin ini rumah Rebecca?" tanya Louis.

Aku mengangguk. "Seratus persen."

"Lebih terlihat seperti rumah nenek-nenek yang ditinggalkan oleh para anak dan cucunya bersama puluhan kucing," gumam Louis pada dirinya sendiri namun aku masih bisa mendengarnya secara jelas.

"Baiklah, ayo keluar!"

"Kau yakin? Apa--"

"Louis!"

Louis akhirnya mengangguk. Terlihat sekali bahwa dia mulai kesal dengan segala perintah yang kuberikan akhir-akhir ini, rasanya sangat terkejut mengetahui Louis masih mau bersamaku padahal dia bisa saja langsung meninggalkanku. Detik ini juga. Atau tadi. Atau dia juga bisa menurunkanku di tengah perjalanan.

Kami akhirnya keluar dari mobil dan memasuki perkarangan rumah Rebecca. Louis nampak mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru perkarangan, kemungkinan besar cowok itu masih tidak percaya bahwa yang tinggal di dalamnya adalah seorang remaja putri dengan ibu dan ayah yang lengkap. Yeah, jika aku bukan saudara Rebecca, aku juga akan berpikiran sedemikian.

Aku menekan bel rumahnya dan kurasa itu adalah perbuatan yang salah, pasalnya setelah aku cek, tidak ada bunyi yang keluar dari benda itu. Aku mengetuk pintunya, cukup keras, dan aku tidak bisa menampik bahwa ada kemarahan di dalam ketukan pintu itu.

"Iya ... iya ... aku akan segera ke sana!" teriak Rebecca dari dalam diikuti suara tapakan kaki terburu-buru. Tapi aku tidak langsung diam dan justru semakin mengeraskan ketukannya. "Demi Tuhan! Aku akan segera ke sana! Bersabarlah, bedebah!"

"Ele--" Louis nampak ingin mengucapkan sesuatu namun sebelum ia dapat melanjutkan ucapannya, pintu utama rumah Rebecca terbuka.

"Demi Tuhan, Ray! Kau tidak bi--" ucapan Rebecca terhenti di tengah kalimat saat matanya menyadari bahwa yang berada di balik pintu bukanlah Ray, melainkan aku. Matanya membulat seperti baru saja melihat hantu.

Sebentar, apa?! Hantu?!

"Eleanor?!" tanya Rebecca, ketidakpercayaan terdengar dari suaranya. "A-apa yang kau lakukan di sini? Kupikir kau adalah Ray. Eh, Louis? Kau di sini juga? Apa yang kau--"

"Rebecca ...," aku memutus ucapan Rebecca, suaraku pelan namun aku yakin bahwa secara bersamaan itu juga terdengar menakutkan. "Apa yang kau katakan pada Louis?"

"Louis? Apa yang kukatakan padanya? Aku tidak mengatakan apapun padamu 'kan, Louis?"

Louis nampak kebingungan. "Kupikir saat kita bertemu di Walmart kau berkata--"

"Yeah, aku berkata ponsel Eleanor disita bukan?"

"Tidak, telingaku tidak tuli, kau jelas mengatakan bahwa--"

"Ah, itu Ray! Ray, demi Tuhan! Apa yang membuatmu lama sekali!"

Aku menolehkan kepalaku, dan benar saja, Ray berdiri di depan mobil Louis, mataya membulat saat menemukan bahwa Rebecca tidak sendirian kali ini.

Aku segera menolehkan kembali kepalaku ke arah Rebecca. "Aku selalu tahu bahwa kau memiliki hubungan yang tidak kumengerti bersama Ray, aku tidak pernah berusaha untuk ikut campur, tapi kali ini aku butuh penjelasan."

Rebecca memandangku, matanya yang tadi penuh kepanikan sekarang berubah menjadi penuh amarah. Aku tidak pernah melihat sisi Rebecca yang seperti ini. Sama sekali tidak pernah melihatnya.

"Baiklah jika itu yang kau minta, tapi bisakah kita hanya bicara berdua? Dan tidak di sini?"

"Kenapa harus berdua?"

"Baiklah. Kita bicarakan ini di kedai es krim keluarga Demi, tapi kita akan bicara dua mata dan para cowok duduk agak berjauhan dari kita, aku tidak nyaman membicarakan semuanya dengan Louis atau Ray mendengarkannya."

"Mereka memiliki urusan juga dalam hal ini, Rebecca, kurasa mereka juga harus mendengarkan. Aku juga butuh penjelasan dari pihak Ray."

"Kita akan bicara dengan mereka setelah kita selesai."

Aku menghela napas, menyadari bahwa hal ini tidak akan selesai jika salah satu dari kami tidak mengalah, akhirnya aku mengangguk.

[-][-][-]

Gantung. Maaf, niatnya mau selesaiin part ini juga. Tapi nanti pasti bakal panjang bgt dan takutnya nggak selesai-selesai draft-nya.

Hidden Files // Elounor ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang