Part 35

1.7K 73 27
                                    

KAFKA POV
Mataku masih saja memandangi langit-langit kamarku pagi ini. Kemarin sesampainya aku di rumah, aku langsung berniat untuk beristirahat langsung karena lelah. Ponselku terus saja berdering dari tadi malam, tanpa ku lihat siapa yang menghubungiku pun aku sudah tau siapa dia.

Hati dan pikiranku masih kacau pagi ini, aku belum siap untuk berhadapan dengan Anika dan membicarakan tentang hubungan kami yang memang seharusnya tidak pernah terjadi sejak awal. Tetapi aku tahu Anika pasti tidak tinggal diam kalau aku terus tidak mengangkat telepon dan membalas sms nya yang tak bisa ku hitung dengan jari berapa banyak jumlahnya.

"Den... udah jam 10, sarapan dulu ya" ucap Bi Inah dari luar kamar. Aku memang sengaja menguncinya agar tidak ada yang mengangguku hari ini.

"Iya bi, bentar" balasku masih dengan mata yang memandangi langit-langit kamarku.

Bisa ku dengar suara kaki Bi Inah menuruni tangga. Saat tanganku bergerak ingin menutupi wajahku dengan selimut, aku mendengar suara ketukan di pintu kamarku.

"Kaf," suara Anika mulai terdengar di indra pendengaranku. Sial.

Aku tidak menjawab sepatah kata pun. Aku belum siap bertemu dengannya. Belum siap membicarakan hubungan kami sekarang.

"Aku tau kamu udah bangun," lanjutnya lagi masih mengaharapkan aku akan membukakan pintu.

"An, bisa gak sekarang gak?" tanyaku frustasi. Ya Tuhan, tak ku sangka percintaan masa SMA ku menjadi ribet dan agak tragis begini.

Tak ku dengar suara Anika setelahnya, sepertinya ia sedang berpikir. Tiba-tiba kenop pintu kamarku bergerak tapi tetap tak terbuka karena sudah ku kunci dari semalam. Anika mengetuk dan sesekali menggedor pintu kamarku yang tetap tidak akan ku bukakan sekarang.

"KAF BUKA GAK!" teriaknya dari luar, bisa ku dengar nada marah, sedih, dan frustasi di dalamnya yang semakin membuatku kesal. Apa tidak bisa ia memberiku waktu untuk berpikir?

"An, kita sama-sama perlu mikir sekarang," ucapku. Jujur, ingin aku membukakan pintu untuknya sekarang. Tapi aku yakin, ia akan memaksaku untuk membicarakan tentang kejadian tadi malam yang pada akhirnya mengurungkan niatku itu.

"Aku udah mikir," ucapnya.

"Aku belom,"

Hening seketika setelah aku mengucapkan 2 kata terakhirku itu. Aku melangkah mendekati pintu dan meletakkan kupingku agar bisa mendengar keadaan di luar. Indra pendengaranku menangkap suara isakan dari luar. Anika menangis?

"An? Kamu kenapa?" tanyaku masih tak membuka pintu. Tak sanggup juga melihat Anika menangis karenaku.

"Gapapa, yaudah aku pulang ya,"

"Naik apa kesini?"

"Taksi."

Oke, aku masih sangat peduli padanya sekarang. Itulah mengapa aku membuka pintu kamarku sekarang yang membuat Anika langsung berdiri tegak. Ku lihat ia masih menghapus air mata yang masih membekas di kedua pipinya yang membuatku semakin merasa bersalah.

"Aku anter pulang, tapi plis jangan omongin itu dulu." ucapku lalu menggandeng tangannya ke bawah dan menuju parkiran rumahku.

Aku menggunakan mobil untuk mengantar Anika ke rumahnya. Selama perjalanan ia membungkam mulutnya dan begitu pun yang terjadi padaku. Aku hanya tak tahu topik apa yang harus aku bicarakan padanya saat ini. Setelah kejadian tadi malam yang mengubah semuanya.

Cukup lega saat mobilku sudah berada di depan rumahnya hanya dalam waktu yang cukup singkat. Aku menoleh pada Anika yang masih saja belum keluar dari mobilku.

About Love and YouWhere stories live. Discover now