Part 34

1.9K 77 19
                                    

KAFKA POV
Aku sedang duduk bersama Anika, Om Steve, dan Om Tora di rumah Anika. Ayah Anika masih mengurus urusan kantor di ruangan kerja di rumahnya dan sepertinya belum bisa diganggu. Sedangkan ibu Anika sepertinya sedang bersiap-siap.

Selama menunggu, Om Steve dan Om Tora sempat membicarakan Kayla sebentar. Sekedar bertanya tentang kepergiannya ke Australia yang langsung dialihkan oleh Anika. Jelas sekali Anika tidak suka jika aku membicarakan Kayla.

"Aku ke toilet dulu ya," ucapku meninggalkan mereka yang masih mengobrol.

Mereka mengangguk dan kembali melanjutkan obrolan tentang rencana pertunangan nanti. Daripada telingaku pecah, lebih baik aku ke toilet untuk buang air kecil. Letak toilet cukup jauh dari ruang dimana Anika, Om Steve, dan Om Tora sedang mengobrol. Banyak sekat dan rak-rak yang menghalanginya.

Setelah selesai menunaikan panggilan alam itu, aku segera keluar ingin kembali ke ruang tamu. Langkahku sempat terhenti mendengar suara-suara dari sebelah kananku. Aku menengok ke ruang tamu sebentar dan ternyata ayah ibu Anika belum juga duduk di sana. Akhirnya aku yang terlanjur kepo mulai melangkah ke sumber suara. Suaranya sangat kecil tetapi terdengar karena orang yang berbicara cukup bawel dan terus menerus berbicara. Ku pelankan langkahku sambil terus celingak celinguk mencari sumber suara kecil nan bawel itu. Aku sepertinya sudah ketularan tingkat keponya Thomas sekarang.

Langkahku ternyata membawaku ke dekat ruang kerja ayah Anika. Baru saja ingin memutar balik merasa tidak sopan untuk menguping, namaku disebut oleh seseorang di dalam sana. Aku menajamkan telingaku sejenak untuk memastikan apakah namaku yang di sebut atau bukan. Setelah meyakini itu benar namaku yang di sebut, aku pun berdiri di samping pintu untuk bisa mendengar lebih jelas.

"Kafka sudah ada disini untuk membicarakan pertunangan! Masa masih gagal juga?!" ucap ayah Anika penuh emosi, dan bisa ku dengar suara ibu Anika yang sedang menenangkan suaminya itu.

"Anak saya dan Kafka akan bertunangan sebentar lagi. Kalau begini jadinya sia-sia usaha kita!"

Sia-sia? Usaha? Usaha apa? Kenapa namaku di sebut-sebut?

Aku bisa mendengar suara bantingan dari dalam ruangan. Ku yakini itu suara ayah Anika yang membanting teleponnya dengan keras. Apa yang bisa membuat dia sampai seemosi ini? Dan mengapa namaku di sebut?

"Pah udah pah... Mereka udah di ruang tamu, gamungkin kita ga keluar," kudengar ibu Anika berbicara lembut tetapi dengan volume yang masih bisa ku dengar dengan jelas.

"Proyek papa tetep gagal, Ma. Sia-sia usaha kita jodohin anak kita satu-satunya dengan Kafka! Sudah kita batalkan saja!"

"Pa! Jangan gegabah gitu jadi orang. Ini menyangkut Kafka juga, gabisa seenaknya kita batalin gini!"

"Untuk apa ma kita tetep jodohin mereka?! Kita malah rugi sekarang ma, rencana semua udah gagal!"

Rencana? Sumpah, semua omongan Om Arnold dan istrinya semuanya belum bisa ku cerna. Ku coba memilah-milah satu per satu kata-kata mereka tetapi otakku seakan tidak berjalan.

"Papa gamau anak kita dijodohin sekarang kalau begini caranya!" lanjut Om Arnold dengan emosi yang masih menggebu.

"Dari awal mama udah bilang pasti resikonya seperti ini, tapi papa tetep yakin sama rencana ini! Papa yang suruh malsuin dan simpen surat wasiat papa nya Kafka! Kalau gagal, kita bisa dituntut pa!"

Deg.

Malsuin? Simpen? Jadi... surat wasiat papa yang itu... palsu?

Tubuhku kaku mendengar perkataan barusan. Bagaimana bisa ia memalsukan dan menyimpan surat wasiat ayahku? Ini bukan sembarang surat. Ini surat wasiat. Sialan.

About Love and YouWhere stories live. Discover now