Chapter 48 - Iras Qwinela

1.5K 142 1
                                    

"CUIH!!!"

"Eh?"

Merasakan ludah yang mendarat di permukaan kulit wajahnya, Iras yang masih tersenyum itu tiba-tiba bengong.

"Zeina..."

Iras perlahan meraba ludah tersebut.

"Kau bajingan!!!"

Iras langsung berdiri dan mengangkat Zeina yang masih ia cekik. Lalu dalam sekejap membantingkan tubuhnya ke dinding bawah berkali-kali.

"Ini menjijikan."

Sembari menyeka ludah di wajah, Iras kembali menindih Zeina. Namun kali ini, ia hanya menjepit pipi adiknya dengan jemari dan melepas cekikan sebelumnya.

"Zeina, ingatlah ini."

Iras kembali tersenyum dan mendekatkan wajah pada Zeina.

"Kau memang mewarisi seluruh kekuatan ibu dan juga mempunyai sihir khusus yang kuat. Tapi, bukan berarti kau bisa dengan mudah mengalahkan kakakmu, Zeina."

Iras melepas cengkeraman dan mulai berdiri. Sementara Zeina yang tadinya sulit bernapas hanya mampu berbatuk-batuk dan memegang beberapa bagian tubuh yang terasa sakit saat dibanting kakaknya.

"OHOK! OHOK!!! Sialan... aku tak pernah sedikitpun menyombongkan diri sepertimu, Iras."

"Eh... kau masih bisa bicara seperti itu, ya. Yah... aku mengerti, meski kau memiliki kemampuan yang sama persis seperti ibu. Tapi di sisi lain, kau belum pernah mendapat kasih sayangnya, kan."

Di sini, Iras tetap memajang senyum ramahnya. Namun mendengar perkataan terakhir itu, Zeina langsung membelalak dan tanpa mempedulikan rasa sakit sebelumnya ia beranjak berdiri lalu melancarkan pukulan ke arah Iras berada. Namun sayangnya, dalam sekejap Iras mampu menghindari itu.

"Ah...! Kakak mau menemui si berandal di bawah sana. Jadi, jaga dirimu baik-baik, ya, adik kecil."

Seiring dengan ucapan terakhirnya itu, Iras langsung lenyap dilahap lingkaran sihir hitam, sedang Zeina langsung ambruk dan jongkok di tempat.

"Azriela... bantu aku."

Sembari terengah-engah, Zeina memegangi leher dan menyuruh Azriela yang telah lepas dari kekangan untuk menopang badannya.

"Cih! Sungguh kakak yang menyebalkan!"

***

"Baiklah, tuan putri, silahkan lewat bersama ibu Anda, saya dan para prajurit dengan senang hati akan mengawal Anda."

Gordon menunduk patuh pada Yuna dan ibunya yang berdiri di dekat kereta. Sementara itu, Olivia sudah menjauh dari posisi Yuna berada. Dia menyaksikan sang putri yang hendak pergi ke bangunan kolosium di antara penduduk ramai.

Untuk sementara ini, Olivia pikir dirinya cukup memantau dari kejauhan hingga sang putri sampai di tempat aman, mengingat Miza yang sudah menyingkir pergi dengan orang-orang yang tadi mengolokinya kini bersorak soray gembira menyambut sang putri.

Namun di sisi lain Olivia cukup khawatir tentang apa yang sebelumnya mereka bicarakan. Sebab, tekad Yuna yang bisa saja membuatnya terbunuh oleh Miza.

"Mungkin, lebih baik aku terus awasi si Miza."

Dengan ekspresi wajah serius, Olivia menaruh jemari di dagu. Kini ia memutuskan untuk terus mengawasi Miza setelah Yunastasia berada di tempat aman.

***

Di salah satu lorong masuk kolosium, Miza berjalan sambil menaruh wajah kesal karena tak senang pada perkataan si penasehat. Tanpa ia sadari, lokasi tempatnya berjalan kini sepi setelah beberapa saat lalu berpapasan dengan peserta yang ingin melihat sang putri, tanpa sedikitpun tahu apa yang sebelumnya terjadi di sana.

"Cih! Awas saja, setelah ini aku pasti akan memenangkan pertandingan. Lihatlah nanti, penasehat."

Sembari terus melangkah, ia menggeram dan mengepal tangan kuat. Namun selang satu detik setelahnya, Miza merasakan bahwa ada sesuatu yang datang. Karenanya, secara reflek ia langsung berbalik ke arah tersebut hendak menangkis serangan.

TAP!!!

"Eh...! Kau hebat, bisa menyadari keberadaanku. Padahal tadinya kukira bisa menyerang diam-diam."

Seorang gadis berambut hitam sepinggang melancarkan tendangan. Namun beruntungnya, Miza berhasil menangkis dengan menggenggam punggung kakinya.

Gadis berpakaian hitam tersebut tersenyum manis seolah tak peduli terhadap apa yang ia lakukan. Miza sendiri agak mengangkat alis sebab bingung kenapa wanita itu menyerang dirinya.

"Maaf, kenapa kau menyerangku, nona?"

Tanpa melepas genggaman pada punggung mata kaki si gadis mengingat tekanan tenaganya yang tak menurun sedikitpun, Miza bertanya dan berusaha memahami apa yang sebenarnya gadis itu inginkan.

"Ah...! Tidak ada alasan khusus, kok."

Gadis tersebut tanpa henti memasang senyum manis sehingga Miza cukup bingung menanggapinya.

"Ngomong-ngomong, kamu tampan sekali, ya."

"Mm?"

Miza cuma bengong mendengarnya.

"Boleh aku tahu namamu, tampan?"

"M... Miza. Miza De Lizard."

"Eh...! Itu nama yang bagus, loh. Baiklah, apa kau bisa mengelak lagi?"

"Eh?"

Seketika gadis tersebut lenyap dari pandangan Miza. Miza sendiri bingung, genggaman tangannya dalam hitungan detik langsung tak memegang apapun.

"Ke mana-"

TAP!!!

Miza dengan sigap beralih pada sisi yang terasa aneh. Dan tepat saat ia bergerak, Miza berhasil menangkis tendangan si gadis sebelumnya yang melompat melayang di udara.

"Eh...! Kau bisa menyadarinya juga, ya."

Selang beberapa detik dari perkataannya tersebut, si gadis mendarat dengan sebelah kaki yang masih Miza pegang. Dan dalam sekejap ia kembali menghilang.

"A-Apa?"

Miza sangat heran pada gerakan wanita tersebut yang memiliki gerakan begitu cepat. Namun meski pikiran Miza agak terbebani karenanya, ia tetap kembali bergerak pada sisi yang terasa mengancam.

TAP!!!

Miza berhasil menangkis serangan. Namun kali ini, wanita tadi langsung lenyap dan kembali menyerang. Lagi, lagi dan lagi. Meski Miza berkali-kali mampu menangkisnya. Hingga mencapai jumlah belasan, ia pun mulai berhenti menyerang.

"Eh...! Kau benar-benar tangguh, ya. Tak heran bila kau berani menantang ayahku. Siapa tadi namamu... Miza, ya. Hehe, padahal tidak ada energi sihir yang terasa sedikitpun darimu, loh. Aku suka."

Gadis itu, tetap tersenyum. Namun kali ini, Miza agak mengerutkan dahi karena merasa aneh oleh tindakan gadis tersebut yang menyerang bertubi-tubi tanpa alasan.

"Bisakah kau lepaskan kakiku sekarang, Miza?"

"Eh?"

Secara reflek Miza Mengangkat alis mendengar perkataan itu. Namun di saat genggaman Miza agak melemah, seketika wanita tersebut kembali lenyap.

"Baiklah."

Mendengar suara itu, Miza berbalik ke belakang. Dan entah bagaimana, gadis yang barusan sudah berdiri sambil menyandar tembok di sana.

"Perkenalkan, namaku, Iras Qwinela. Mungkin, ini sudah cukup. Nanti kita bertemu lagi, ya, Miza"

Tanpa mempedulikan Miza yang kebingungan. Iras tetap memasang senyum lalu lenyap seiring dengan lingkaran sihir hitam yang menelannya.

"Dia bilang, ayah?"

Miza tetap terdiam. Meski pikirannya agak terbebani sebab tidak paham apa yang sebenarnya perempuan tadi inginkan, ia tak mempedulikannya dan kembali melangkah setelah selang beberapa saat.

Sekarang tidak ada suatu hal yang mesti ia pikirkan, entah itu para peserta berambut putih, lelaki bernama Zakira atau wanita yang sebelumnya menyerang, selain fokus pada sayembara agar dirinya mampu menang dan bisa menguak misteri di balik tragedi Nurwan.

Red Sword - Warrior From The PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang