Whether God is Real?

Start from the beginning
                                    

"Dengarkan dengan baik. Aku hanya akan mengatakannya sekali dan cepat!" ucap Sasuke menahan geraman yang telah sampai di kerongkongannya. Dan pada detik berikutnya, pria itu mulai menjelaskan strategi yang telah dipersiapkannya dengan sangat cepat. Nyaris tanpa jeda.

"Kau menjelaskannya dengan terlalu cepat, Sasuke," kritik Fugaku dengan nada ketus.

"Itu masalahmu. Bukankah aku sudah mengatakan aku akan menjelaskannya dengan cepat? seharusnya kau pasang telingamu tadi," hardik Sasuke tak kalah ketus seraya melenggang keluar dari ruang rapat. Meninggalkan semua orang dengan desas-desus memuakkan mereka.

Yang tentunya hanya dianggapnya sebagai angin lalu.

.
.
.

"Berhenti, Naruto!" jerit Obito saat ia tak kuasa lagi untuk menangkis serangan yang gadis itu lancarkan padanya. Ia sudah sangat terpojok dengan posisi di sudut ruangan dan baru saja jatuh tersandung kakinya sendiri saat Naruto tetap saja memainkan pedangnya meski tahu jika pria itu sudah kalah telak darinya.

"Kenapa kau menyuruhku untuk berhenti? bukankah kita baru saja mulai?" sindir Naruto. Suaranya terdengar sangat datar dan dingin. Mungkin akibat dari kejadian di dalam kamar tadi.

Dan itu mungkin juga sebab mengapa ia menganggap satu jam latihan hanya berarti sebentar baginya.

"Tapi hari ini kau tidak dijadwalkan untuk bermain pedang, Naru. Kita akan berlatih untuk menembak!" seru Obito terengah-engah saat gadis itu menghentikan serangannya dan menjauh beberapa langkah.

"Bagus. Itu artinya aku bisa menghancurkan sesuatu," girang Naruto setengah bergumam.

"Seseorang, tepatnya," ralat Sai seraya mengerling penuh arti pada Obito yang menelan ludahnya keras-keras.

"Beruntung kita hanya akan menggunakan peluru biasa," desah Obito lega.

"Tapi, itu tetap saja menyakitkan, bukan?" goda Sai yang segera mendapat tatapan kematian dari saudaranya. Jadi mereka telah berencana untuk melakukan latihan menembak dengan bersungguh-sungguh. Maksudnya, satu lawan satu secara langsung.

"Tenanglah, Obito. Kau sudah cukup menderita hari ini. Biar aku saja yang melatih Naru," sela Shisui dari ambang pintu saat Obito nampak hendak menyemburkan ribuan kata-kata kasarnya.

"Benar kau akan melakukannya?!" seru Obito dengan mata yang berbinar-binar, penuh harap.

"Tentu. Naru, ayo ikut aku," Shisui dan Naruto pun berjalan menjauh dan masuk ke dalam ruang latihan untuk menembak.

"Pertama, kenakan kacamata serta penutup telinga ini jika kau ingin tetap sehat setelah berlatih," Shisui mulai memberikan instruksi yang segera Naruto ikuti dengan cepat. Nampaknya gadis itu tidak berani jika menyentak Shisui.

"Sekarang, ambil pistol itu ambil dengan hati-hati, jaga jarimu berada di luar pengaman pelatuk, lurus dan rata pada sisi pengaman. Setiap kali kau menanganinya, pastikan larasnya mengarah ke bawah, yang seharusnya tidak ada orang," Shisui mulai menerangkan cara membawa pistol dengan benar, yang nampaknya terdengar sangat rumit di telinga gadis itu.

"Seperti ini?" Naruto melakukan persis seperti yang pria itu arahkan.

"Benar. Sekarang, pegang senjatamu dalam keadaan siap tembak. Buka tanganmu yang lebih dominan atau tangan yang biasa kau gunakan untuk menulis hingga terbuka lebar antara jari telunjuk dan ibu jarimu. Bawa pistol ke dalam tanganmu yang lain, masukkan pegangan pistol itu ke antara jari telunjuk dan ibu jari tanganmu yang dominan. Dengan ibu jarimu pada satu sisi dari pegangan, jagalah jari tengah, jari manis dan kelingkingmu menggenggam secara aman di sekeliling sisi lainnya tepat di bawah pengaman pelatuk," Shisui mencontohkan pada tangannya sendiri yang kemudian Naruto ikuti dengan sedikit bingung. Yang berujung dengan kesalahan yang membuat jari-jari tangannya saling terpaut, rumit.

My Lovely DarknessWhere stories live. Discover now