After 3 years

Mulai dari awal
                                    

Berada di kelas XII benar-benar tidak menyenangkan. Hari-hariku sangat melelahkan karena dipenuhi oleh jam tambahan pelajaran untuk persiapan UAN. Sore itu, aku sedang memasukkan buku pelajaran ke dalam tas ketika kabar itu tak sengaja mampir ketelingaku. Anak perempuan dikelasku, Ocha dan Octa sedang bergosip dengan heboh tanpa menyadari keberadaanku dikelas itu.

“Febria tuh tega ya, bisa-bisanya dia pacaran sama orang yang disukai sahabatnya sendiri.”

“Maksud kamu Febria jadian sama Jaka?”

“Iya, emang siapa lagi. Tega banget kan dia.”

“Iya, tega banget.”

       Emosiku seketika naik mendengar pembicaraan mereka. Anak-anak dikelasku memang sudah tahu jika aku menyukai Jaka, bahkan Febria sahabatku sejak kelas X juga tahu secara detail hal-hal tentang Jaka lewat cerita-ceritaku. Kabar yang kudengar  benar-benar melenyapkan akal sehatku. Berani-beraninya Febria menusukku dari belakang.

Aku berlari ke luar kelas mencari Febria. Kami memang berbeda kelas, ia jurusan IPA. Jaka dan Febria sedang bergandengan tangan ketika aku sampai di kelas Febria. Febria terkejut melihatku. Aura kemarahan di dalam diriku membuatnya sedikit ketakutan sehingga langsung melepaskan tangannya dari Jaka. Jaka tampak tenang, sementara Febria gemetaran. 

“Vi, aku bisa jelasin, semuanya gak seperti yang kamu lihat kok.”

“Oh ya, lalu seperti apa? Seperti seseorang yang tanpa sengaja jatuh cinta pada lelaki yang dipuja oleh sahabatnya sendiri? Kau pikir aku bodoh, hah? Kau tahu Febria, aku muak melihatmu, mulai hari ini persahabatan kita putus.” Aku setengah berteriak ketika berbicara pada Febria. Kemarahan benar-benar telah menguasaiku hingga aku tak sadar orang-orang memperhatikan pertengkaran kami. Febria tak menjawab.

   Kutatap Jaka yang masih terdiam sambil bersandar ke pintu, melihatku dengan tatapan tidak percaya. Aku yang dikenalnya selama ini memang hanyalah seorang gadis lemah yang tak berani mengungkapkan perasaanku. Kutatap matanya, mata yang sama seperti dulu, mata bening yang membuatku jatuh cinta.

“Jaka, aku yakin kau tahu perasaanku selama ini, tetapi kenapa kau setega ini padaku? Aku salah apa? Apa aku pernah menyakitimu? Apa aku pernah memaksamu membalas cintaku? Tidak bukan? Kenapa harus dengan sahabatku? Ah, mantan sahabat! Kau tahu Jaka, bahkan setelah berkali-kali kau sakiti, aku masih mencintaimu.” Ada kelegaan yang mengalir setelah mengungkapkan perasaanku pada Jaka. Selama dua tahun aku menyembunyikan perasaanku yang sebenarnya dan hanya bisa tersenyum jika teman-teman menggoda kami berdua. Kali ini kelegaan itu bercampur dengan rasa sakit hingga airmata membasahi wajahku.

“Maafkan aku Lovi. Kau tahu, sejak pertama kali kita bertemu, kau sangat menarik perhatianku.” Aku terkejut dengan pernyataannya. Mata kami bertatapan. Ia melanjutkan lagi. “Kedekatan kita selama dua tahun ini membuatku bingung sampai-sampai aku sering menyakitimu. Aku senang dengan kedekatan kita selama ini, tapi ada hal lain yang tidak aku temukan dalam dirimu. Aku tak kau ingin salah mengartikan rasa ini. Sekali lagi maafkan aku Lovi.”

   Air mataku kembali mengalir, bertambah deras. Kutarik nafas dalam-dalam sebelum mulai berbicara lagi. “Aku memaafkanmu Jaka, tapi aku tidak akan melupakan peristiwa hari ini.” Kutinggalkan Jaka dan Febria. Aku kembali ke kelasku dengan hati yang tak lagi utuh, berceceran sepanjang jalan menuju kelas.

Aku tak lagi bersahabat dengan Febria sejak kejadian itu. Aku juga tak berbicara dengan Jaka meskipun kami sekelas. Hingga kelulusan tiba dan aku terbang ke Yogyakarta untuk melanjutkan kuliah. Aku melanjutkan hidupku dan belajar melupakan, meski tak pernah bisa.

***

-Masa sekarang-

       Pagi itu kudapati email dari Jaka Wisena di inbox. Aku benar-benar tak tertarik membacanya. Kudiamkan email itu selama dua hari. Bukan tanpa sengaja, tapi kesibukanku di organisasi kampus telah menguras tenagaku. Saat ini aku mahasiswi semester enam disebuah perguruan tinggi swasta. Aku bahagia dengan kehidupanku hingga email itu mampir di inbox dan mengusik sedikit ketentramanku. Kubuka email itu lalu kubaca.

Ritme HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang