Part#13

52.5K 4.9K 273
                                    

Malam beranjak semakin larut. Keramaian masih terlihat di setiap ruas  jalan yang terlewati. Bukan hal aneh, mengingat hampir setiap sabtu malam di sebagian besar tempat makan di pusat kota penuh oleh anak muda.

Aku, kedua temanku dan Barra menjadi salah satu di antara mereka. Kami memilih sebuah cafe. Jaraknya tidak terlalu jauh dari kampus. Dekorasi dan perabotannya bergaya modern. Sofa dengan bentuk unik yang menyerupai tangan sempat menarik perhatian. Lukisan siluete perempuan dan grafiti warna-warni menghias setiap sudut ruangan. Alunan musik dari band lokal mengiringi pengunjung yang datang untuk menyantap makanan atau sekadar berkumpul.

"Sudah kenyang?" Barra menatap sekilas piringku. Pasta yang aku pesan masih tersisa hampir setengahnya.

"Ya. Porsinya terlalu banyak," dalihku, mencari pembenaran dari kebohongan.

Ia menyeruput mochanino panas kesukaannya. "Masuk angin?" Nada suaranya terdengar kesal.

"Mungkin." Aku mengusap leher. Tebakan Barra seratus persen tepat. Terlalu asyik mengobrol membuatku melupakan jadwal mengisi perut.

"Kamu sudah mampu berpikir logis. Kemampuan menjaga diri seharusnya lebih baik daripada anak SD."

Aku tersenyum. Reaksi Barra sulit ditebak. Satu waktu dia akan bersikap sangat cuek tapi di lain kesempatan, tatapannya seolah menunjukan rasa posesif.

"Setiap orang punya batasan. Aku mungkin hanya butuh sedikit bantuan seseorang untuk diingatkan."

Barra berdecak. Kedua tangannya bersidekap namun dengan sikap sangat santai. Penerangan yang temaram justru menambah kesan menarik terutama setiap kali pandangan kami beradu. Aura romansa mengelilingi. Sayang sekali  suasana tidak memungkinkan.

"Aku akan mencobanya nanti, kalau ingat."

"Yah, setidaknya kamu sudah berniat tapi akan lebih bagus ada tindakan."

Kami berdua terdiam kembali. Saling bicara melalui pandangan mata. Cara ini terasa lebih menyenangkan. Ketika lirikan singkat berhasil menciptakan sensasi perut yang terasa bagai dipilin. Sentuhan kulit tanpa di sengaja menghadirkan getar dalam dada. Dan ketegangan berangsur pudar saat  jemari salin terkait.

Pandanganku beralih menuju pintu dengan tulisan toilet. Letaknya tidak terlalu jauh dari meja kami. Kedua temanku pamit ingin buang air kecil. Sepuluh menit berlalu, tanda keduanya belum juga muncul.

Barra memanggil pelayan. Ia memesan teh manis hangat. Selang beberapa menit pesanannya datang. "Minum dulu. Lumayan buat ngangetin badan."

"Terima kasih sudah perhatian." Laki-laki itu hanya diam. Ekspresinya datar tapi seulas senyum sempat kudapati walau sesaat.

Caca dan Rere kembali dengan alis naik turun. Keduanya mengejek reaksiku yang dengan cepat melepas genggaman Barra.

"Sudah selesai pacarannya?" Sindir Rere.

"Kami justru bosan menunggu kalian." Barra menatap keduanya bergantian.

Rere mendengus setelah duduk di kursinya. "Toiletnya penuh. Kami harus antri dan harus bertahan dengan campuran aroma parfum menusuk hidung. Terlalu banyak yang bersolek hingga pengap rasanya."

"Berhenti mengeluh, Re. Setidaknya kita nggak perlu membayar untuk makan malam kali ini." Celetukan Caca berhasil membungkam Rere.

Barra memang tidak pelit. Dia mempersilahkan kedua temanku memilih menu tanpa melihat harga.

"Kita pulang saja. Kakak juga harus istirahat, bukan." Potongku cepat.

Barra memanggil pelayan dan membayar pesanan makanan kami. Termasuk plastik berisi pesanan Caca yang dibawa pulang.

I (never) Give Up ( Sudah Diterbitkan)Where stories live. Discover now