Chap#6

59.4K 5.6K 221
                                    

Sumpah serapah, makian hingga kata-kata yang tak pantas di dengar meluncur bebas dari bibir. Darahku mendidih, sama sekali tak menyangka Reihan bisa berbuat selicik ini. Pura-pura menyukaiku hanya demi menarik perhatian Mieska. Sungguh mengesalkan apalagi ia melakukannya tanpa memikirkan posisi orang yang dilibatkannya.

Ranjang berguncang keras ketika berat tubuhku menghempas busa tebal itu. Kedua tangan terangkat, bergerak-gerak di udara seolah sedang memukul sesuatu. Argh sebal, sebal!

Jarum jam sudah menunjukan hampir tengah malam tapi mata masih sulit terpejam. Bosan, jemari meraih ponsel di nakas, mengintip akun Instagram milik Reihan. Sebenarnya sudah berulang kali aku memastikan foto diriku yang laki-laki itu upload. Bulu roma merinding, merasa aneh setiap membaca caption yang Reihan tulis. Terutama kalimat yang menggambarkan kekagumannya padaku. Ia sepertinya terlalu banyak nonton drama.

Suasana hati semakin memburuk. Pesan yang ditinggalkan teman-teman kampus baik melalui pesan singkat ataupun sosial media mulai menganggu. Berbagai tanya dari mulai yang menyangsikan sampai memberi ucapan selamat semakin memusingkan. Hampir gila rasanya membayangkan apa yang Barra pikirkan meskipun aku pikir ia tak peduli. Buktinya, hingga detik ini tak ada satupun telepon atau pesan. Wajar sih, hubungan kami bukan jenis hubungan yang mengharuskan untuk cemburu.

Bunda mengerutkan keningnya saat aku beranjak untuk menuju ruang makan keesokan pagi. "Kamu semalam begadang, Sayang? Lingkaran hitam di bawah mata kamu gelap sekali." Tentu saja, mata baru bisa diajak kerjasama menjelang pagi.

Aku menyeret salah satu kursi makan. Menopang dagu sambil menatap makanan di meja. "Vita banyak tugas, Bunda," jawabku tanpa semangat.

"Kamu tidak kuliah?"

Kepalaku menggeleng pelan."Hari ini Vira mau istirahat saja, capek. Ayah sudah ke kantor, Bun?" Sosok laki-laki penyabar dan humoris itu tidak tampak dimanpun.

Bunda menyodorkan piring berisi nasi goreng. "Ayahmu sudah pergi, ada rapat katanya. Ya sudah, selesaikan sarapanmu terus istirahat." Semua gara-gara Reihan. Membayangkan tersebarnya rumor hubungan kami berdua membuatku jengkel setengah mati.

Seharian menghabiskan waktu di kamar tidak cukup menyurutkan kekesalan. Usaha untuk mencari tahu keberadaan Reihan seolah sia-sia karena laki-laki itu sulit di hubungi sejak semalam. Pesan yang sengaja kutinggalkan lewat ponsel maupun sosial media juga belum mendapat tanggapan.

Bunyi ponsel mengalihkan perhatian. Nomor yang muncul di layar ternyata milik Rere."Hallo, Ra. Lo kenapa nggak kuliah? Sakit?" Sapa sahabatku di ujung sana.

"Ya begitu deh. Lo dimana? Masih di kampus?" tanyaku malas-malasan.

"Nggak, sudah pulang dari jam sebelas tadi. Bu Mitha berhalangan hadir. Sebaiknya lo besok masuk kuliah, kalau lo absen justru malah menguntungkan posisi Reihan. Ia bisa berbicara sesukanya, menggiring opini seolah hubungan kalian memang nyata. Tetaplah bersikap wajar, toh pada akhirnya orang-orang akan melihat rumor itu tidak lebih akal-akalan Reihan."

"Benar juga sih tapi gue malas banget ketemu dia. Tau nggak, ia bilang sama Barra soal ini. Nyebelin, kan," keluhku semakin pusing.

"Ya sudah pokoknya lo besok harus masuk. Kita lihat sikapnya di kampua kalau kalian bertemu, baru memutuskan harus bertindak seperti apa."

"Oke, sampai besok." Aku menekan tombol end. Kepala bersandar di bantal, memejamkan mata dan menghela napas. Semoga saja keadaan akan lebih baik.

Keesokan pagi, seperti janjiku pada Rere, aku memaksakan diri pergi ke kampus. Beberapa teman yang kukenal menanyakan kebenaran postingan Reihan. Aku menanggapinya tidak terlalu serius, cukup dengan menjelaskan keadaan kami yang sebenarnya. Terserah mereka mau percaya atau tidak.

I (never) Give Up ( Sudah Diterbitkan)Where stories live. Discover now