Chap#4

65.7K 5.9K 362
                                    

Icha berdiri didepan pagar begitu kami sampai dirumahnya. Laki-laki bernama Fadli yang bersama Barra rupanya salah satu penghuni kos milik temanku itu. Pantas saja keduanya tampak akrab. Rere melampiaskan kekesalannya pada sahabatku dengan berbagai omelan karena sudah meninggalkan kami.

"Teman macam apa lo, hei gadis penyuka laki-laki berkumis!" Fadli berkerut mendengar gerutuan Rere. Dia sontak menutup kumis di wajahnya.

Icha mendelik, seolah meminta temannya untuk diam. Aku yang semula kesal tidak bisa menahan senyum. Bahasa tubuh Icha menunjukan ketidaksukaan melihat Rere masih berdiri disamping Fadli. Mengingat selama ini dia menyukai tipe laki-laki berkumis, aku mulai menduga-duga perasaan seperti apa yang dia rasakan pada teman Barra itu.

Seorang penghuni kos wanita tiba-tiba muncul dan menghampiri Fadli. Dia minta tolong pada laki-laki itu untuk memperbaiki laptopnya yang tidak bisa dinyalakan. Barra bersikap tak acuh bahkan terkesan angkuh menyadari wanita itu diam-diam mencuri pandang kearahnya. "Fad, aku pulang dulu. Nanti kabari saja kalau ada rencana mau reuni." Fadli mengangguk lalu pamit pada kami diikuti wanita tadi.

Pandangan Barra kembali beralih padaku, dia hampir tidak mempedulikan keberadaan Icha dan Rere yang masih berdiri. "Kenapa kamu tidak masuk? Mau jadi penunggu pintu atau nunggu mas-mas berkumis?"

Icha merengut padahal sindiran itu bukan dirinya. "Ceile Bang, baru jadi playboy dari negara api aja berani nyindir-nyindir. Cewek juga ada yang berkumis tau."

Barra mengerutkan keningnya mendengar celetukan Icha. "Playboy dari negara api?" tanyanya sambil memalingkan wajah padaku, menuntut penjelasan.

"Eh Cha, lo kerjain laporan tugas gue. Awas ya nggak usah protes, anggap aja ini hukuman karena lo ninggalin kita tadi." Rere menyeret sahabatnya yang memasang wajah tidak rela.

Laki-laki itu masih bergeming. "Playboy dari negara api," gumannya mengulang perkataan Icha. "Yang teman kamu bilang itu maksudnya tadi Kakak?"

"Tolong jangan di masukan ke hati ya, Kak. Dia orangnya memang suka ceplas-ceplos tapi baik kok. Terima kasih juga tadi sudah mau bantu Vira. Aku masuk dulu ya, selamat malam Kak," ucapku pamit.

"Sim sama mobilmu disita Tante Alma?"

Langkahku terhenti dan reflek membalikan badan. Susah kuduga entah Om Andra atau Tante Cinta pasti menceritakan kecelakaan tempo hari padanya. "Iya."

Dia menghembuskan nafas pendek. Terdiam agak lama dan terkesan agak gelisah. "Anggap saja yang tadi gantinya karena Kakak tidak membantumu saat itu jadi tidak perlu merasa harus berterima kasih."

Sejenak kuperhatikan wajah dalam remangnya lampu. Raut tampan yang hingga detik ini menjadi ujian terberat setiap akan menata hati. Segurat perih menggores menyadari pada saat kecelakaan itu terjadi, Barra kemungkinan mengetahui dan memilih berlalu begitu saja. Benar, siapa diriku hingga dia harus merasa peduli. Wake up, Devira.

Aku mencoba memasang senyum sewajar mungkin. Menahan sesak dan bersikap seolah baik-baik saja. "Tidak apa. Aku sadar diri kalau Kakak memilih untuk mengabaikan. Toh kita memang tidak punya ikatan yang mewajibankan untuk membantu. Lagi pula ada Om Andra yang bantuin. Ayah kakak itu hebat loh, Vira sampai kaget soalnya cepat sekali menangani masalah. Pintar bicara."

"Oh sekarang tipe kamu berubah jadi om-om rupanya," gumannya lebih pada diri sendiri.

"Daripada yang muda tapi suka menggantung status lebih baik yang tua sedikit tapi tanggung jawab," balasku dengan suara tak kalah pelan. Semenjak putus dari cinta pertamanya, Barra tidak pernah serius menjalani huhungan dengan wanita manapun. Dia akan menyingkir bila pasangan dalam tahap pendekatannya mulai mengatur kehidupannya.

I (never) Give Up ( Sudah Diterbitkan)Where stories live. Discover now