Chap#5

63.8K 5.5K 297
                                    

Langit semakin gelap tanpa kehadiran satu bintang pun begitu kami tiba di kediaman Barra. Bangunan berlantai dua dengan taman yang cukup luas itu tampak sepi. "Kamu mau nempel sampai kapan?" Celetukan Barra mengejutkanku.

"Eh kita sudah sampai ya?" ucapku setelah memasang wajah tak berdosa. Dengan cepat kedua tangan melepas rangkulan di pinggangnya, lalu bergegas turun. Ah, kenapa setiap bersamanya waktu terasa berjalan begitu cepat.

Barra turun dari motor. Dia mengacak-acak rambutnya setelah membuka helm.   Pemandangan menakjubkan itu mempesona meski hanya beberapa detik. Dia bisa kembali menyindir andai mendapatiku tengah asyik mengaguminya. "Dari lima menit yang lalu. Kakak sudah menegurmu beberapa kali. Apa jangan-jangan pendengaranmu memang bermasalah atau... " Seringai sinis itu muncul. "Kamu sengaja ingin  berlama-lama dan berlagak seperti orang bodoh."

Aku pura-pura berdecak sambil menggeleng. Menutupi perasaan sebenarnya yang tengah menahan malu. "Kak Barra salah besar. Aku sedang memikirkan seseorang jadi lupa dengan keadaan sekitar. Tenang saja, orang itu bukan Kakak kok," balasku lalu menyodorkan  helm yang kupakai padanya.

Alisnya naik sebelah. "Siapa?" Dia meletakan helm yang kupakai di atas motornya.

Bahuku mengendik. "Mau tau aja. Sudah ah, Vira mau ketemu sama Tante dulu." Aku bersiul, meninggalkannya yang masih mematung. Jemari perlahan mengusap dada, jantung yang berdegub kencang masih menyisakan perih yang  menyakitkan. Menyadarkan diri agar tidak kembali berharap lebih padanya rupanya sangat sulit.

Tante Cinta menyambut kedatangan kami dengan hangat. Wanita cantik itu berubah heran  ketika aku mengatakan alasan menemuinya. Pandangannya  beralih pada Barra yang meninggalkan kami setelah mencium tangannya. "Loh memangnya Bunda minta kamu jemput Cinta kesini ya?" Dia tampak berpikir keras.

"Bunda bagaimana sih? Bukannya tadi siang Bunda yang maksa Barra jemput Vira." Seru Barra gusar sebelum menaiki tangga ke lantai dua.

"Maaf ya, Ra. Kayaknya Tante mulai pelupa. Ayo duduk dulu." Tanpa menunggu, kami berjalan menuju ruang tengah.

"Nggak apa-apa, Tante. Ayah juga sering lupa belakangan ini."

"Ayahmu begitu karena efek samping sering di omeli ibumu." Kami berdua tertawa. Sikap Ayah pada Bunda memang selalu menarik untuk di bahas.

Barra kembali turun dan menemui kami. Pakaiannya sudah berganti dengan kaus putih polos dan celana pendek motif loreng. Aku menelan ludah, memastikan mulut tidak menganga saat melirik otot bisep di lengannya. Bayangan perutnya yang sixpack membuatku semakin nelangsa. Dia mencium pipi Tante Cinta sebelum akhirnya duduk disamping ibundanya.

"Oh ya, Tante. Ada keperluan apa Vira di minta datang ke sini?" tanyaku setelah mampu mengendalikan perasaan.

"Tante baru saja beli kue kesukaan ibumu. Sebenarnya tadi Tante mau kirim kalau supir sudah pulang mengantar Om Andra tapi karena kamu datang, nanti tolong bawakan untuk ibumu ya. Kamu pulangnya di antar Barra saja."

"Nggak usah, Tante. Vira pulang naik taksi saja." Tolakku halus.

"Jangan, tidak enak sama ibumu. Kamu makan malam saja di sini ya. Sebentar lagi Om Andra pulang. Nanti Tante mengabari ibumu kalau kamu pulang agak telat." Bujuk Tante Cinta.

"Tapi... " Sebenarnya aku tidak keberatan dengan tawarannya untuk ikut makan malam hanya saja berada kehadiran Barra belakangan ini menyuburkan kembali puing harapan atas nama cinta.

Barra menyipitkan mata. Tarikan di sudut bibirnya mengingatkan diriku untuk bersiap mendengar kata-kata yang tak enak di telinga." Tidak perlu sok imut, berat badanmu tidak akan berkurang banyak meskipun  menolak tawaran Bunda makan." Tuh, benarkan.

I (never) Give Up ( Sudah Diterbitkan)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz