Chap#9

59.7K 5.5K 195
                                    

Harus kuakui, diriku memang bodoh. Untuk kesekia  kali terjatuh pada lubang yang sama. Seharusnya kalimat tak mengenakan atau pandangan angkuh mampu membuka mata dan menyadari  kenyataan. Mungkin pikiranku sudah terlalu bebal bahkan sekadar mengusir bayangan laki-laki itu pun sulitnya setengah mati.

Ah menyebalkan. Kalimat itu terucap dari bibir setelah menghempaskan tubuh di tempat tidur. Menutup mata lalu mengulang kejadian waktu di mobil tadi. Sandiwaraku yang berisikap seolah hari ini menyenangkan berhasil mengelabui saat Bunda menyambut kedatanganku. Padahal sepanjang jalan, kekesalan pada Barra tidak berkurang sedikitpun. Laki-laki itu benar-benar menjengkelkan.  Apa yang merasuki kepalanya hingga mengomel terus hingga aku tiba di rumah.

Diriku seolah di hadapkan pada kejadian beberapa tahun lalu. Penolakan Barra menegaskan kembali ketidaksukaannya padaku. Orang dengan pikiran normal akan memilih menjauh tetapi sebagian diriku malah masih berharap. Andai saja ada sesuatu yang mampu mengalihkan duniaku dari kehadirannya.

Bunyi ponsel berdering mengusik lamunan, memaksa mata kembali terbuka. Sengaja kubiarkan benda berlogo apel di gigit itu terus berbunyi sekian menit. Tapi lima menit berlalu, bunyinya tidak juga berhenti dan justru semakin menganggu.

Setengah memaksakan diri, aku bangkit dan berjalan menuju meja belajar, tempat ponsel itu kuletakkan setelah memasuki kamar. "Halo," sapaku tanpa semangat.

"Halo, Ra. Bisa kita bertemu sekarang?"

Kerutan di kening bertambah demi memastikan lebih jelas suara laki-laki di seberang. Suaranya terdengar familiar tapi bukan milik Barra.  Aku memang tidak langsung menjawab panggilan tanpa melihat layar lebih dulu. "Ini siapa ya?" tanyaku bingung. Berancang-ancang akan mematikan sambungan bila si penelepon ternyata orang iseng.

"Ini aku Reihan. Apa kamu tidak menyimpan nomorku?" Gerutuan terdengar di balik balasan laki-laki itu.

Bibirku mengerucut. Reihan merupakan orang kedua yang menyebalkan setelah Barra. "Hm, ada apa? Tumben menelepon."

"Ada yang ingin aku bicarakan denganmu."

"Mau bicara apa lagi? Kamu sudah tahu aku nggak bisa berbuat apa-apa soal Barra dan Mieska," jelasku sambil menghela napas.

"Sebentar saja, kebetulan aku sudah berada di dekat rumahmu." Apa dia bilang tadi, susah dekat rumahku?

Aku menggeleng kuat. Bunda bisa menahanku seharian demi mengorek informasi dan Ayah pasti akan bersikap semakin protektif. Anehnya aturan itu tidak berlaku untuk Barra. "Di depan komplek ada restoran siap saji. Kita ketemu di sana saja tapi aku tidak bisa lama-lama."

"Oke. Aku tunggu di sana," balas Reihan sebelum menutup telepon.

Agak mengherankan tapi tidak terlalu mengejutkan dengan sikap Reihan tadi. Kemungkinan besar aku akan di suguhi cerita yang sama. Memintaku membantunya mendekatkan Mieska dengan Barra. Sebenarnya aku memahami perasaannya. Ia hanya ingin melihat orang yang di sukainya bahagia. Tapi melibatkan orang lain  rasanya tidak cukup bijak, apalagi ia tahu aku masih menyukai laki-laki itu.

Sebenarnya aku bisa saja menolak. Beralasan ini dan itu agar Reihan  mengurungkan niatnya bertemu. Tapi, berhubung ia beberapa kali pernah memberi bantuan saat mengerjakan tugas kuliah, berbaik hati sedikit kurasa bukan masalah.

Dengan cepat, aku meraih shoulder bag kecil berwarna coklat dari gantungan baju di pintu lalu keluar dari kamar. Beberapa alasan berputar-putar di kepala, memilih yang paling masuk akal agar Bunda tidak banyak bertanya. Sosok perempuan yang hampir setiap hari mengomel itu sedang membungkuk di taman depan. Ia tampak sibuk merawat tanaman hiasnya.

"Kamu mau kemana, Ra?" Bunda menoleh, terusik dengan langkah kakiku.

"Mau ke mini market, Bun. Pakai sepeda aja, sudah lama Devira nggak naik sepeda."

I (never) Give Up ( Sudah Diterbitkan)Where stories live. Discover now