Part7

53.3K 5.8K 209
                                    

Menciptakan momen kebersamaan dengan Barra merupakan hal tersulit sekalipun dalam mimpi. Setelah beberapa tahun lalu, hubungan kami memburuk dan saling membenci. Akhirnya ada kesempatan untuk memperbaiki keadaan. Hanya saja aku lupa karena pasti ada saja hal menyebalkan yang berhasil mengacaukan.

Aku manggut-manggut dan tersenyum tanpa banyak memberi tanggapan pada reaksi Mieska. Kedatangan Mieska dan Reihan cukup mengejutkan dan bukan sesuatu yang kuharapkan. Pertemuan kami sepertinya juga kurang disukai oleh Reihan. Laki-laki itu berusaha untuk tidak menunjukan kekecewaannya. Ia mencoba bersikap santai meskipun aku yakin perasaannya sakit melihat kegirangan yang Mieska tunjukan saat melihat Barra.

"Kalian mau nonton juga? Film apa?" Pertanyaan Mieska ditujukan padaku. Tapi pandangannya tidak beralih dari Barra.

Aku menyebut salah satu nama film bergenre horor yang jadi pembicaraan belakangan ini. Jenis film yang kurang Barra sukai. Ia lebih suka adegan action atau yang tanpa melibatkan kisah romantis. Ia juga agak pilih-pilih waktu bila ingin pergi ke bioskop. Terlalu ramai dan dipenuhi anak-anak sekolah hanya akan membuatnya jengkel.

Mieska merengut, tampak jelas kalau ia tidak menyukai jawabanku. "Kenapa tidak menonton film lain sih? Kamu nggak mau nonton film romantis?"

"Kalau memang ada film yang ingin kamu tonton, kenapa harus memusingkan film yang akan Vira tonton. Toh nggak ada yang memaksamu menonton film yang sama, kan. Perempuan memang aneh, selalu saja meributkan hal kecil yang ada jalan keluarnya," balas Barra kalem. Ia mengucapkan kalimat pedas tadi dengan pandangan tetap ke layar ponsel.

"Sorry, Mies. Aku nggak terlalu suka film yang kamu maksud. Lagian kami sudah dapat tiketnya." Aku berusaha meredam suasana muram yang muncul. Mendelik pada Reihan, memintanya untuk segera bertindak.

"Ayo Mies. Kita nonton film yang kamu bicarakan di mobil tadi saja ya. Antriannya sudah mulai panjang," bujuk Reihan lembut. Ia terlihat kesulitan mencairkan kekerasan hati Mieska. Bagaimana tidak, wajah perempuan itu terus tertekuk sejak mendengar balasan Barra.

Ia menepis uluran tangan Reihan. Kekesalan terpancar jelas dari ekspresi wajahnya."Nggak, kita nonton film horror saja. Kamu duduk di kursi mana, Ra?"

Barra menggeleng lalu memasukan kembali ponsel ke dalam sling bag kulit miliknya. "Vira, cepat jalan. Sebentar lagi filmnya dimulai." Aku tidak sempat mengatakan nomor kursi yang kami duduki saat Barra mengulang kembali perintahnya, kali ini dengan nada lebih tinggi.

Mieska meradang, meluapkan kekesalannya pada Reihan. Sikapnya memang menjengkelkan tapi di sisi lain, aku tak bisa meremehkan perasaan perempuan itu. Sosok Mieska bagai cerminan perilaku diriku di masa lalu. Menyebalkan, sok kecantikan, terlalu percaya diri dan sederet panggilan buruk lainnya.

"Tidak ada yang melarangmu melamun tapi setidaknya hargai orang yang sudah memberikan tiket ini," celetukan Barra mengembalikan kesadaran. Ia rupanya memperhatikan sikapku diamku setelah kami memasuki studio.

Aku menghela napas, mengikutinya menuju ke bagian tengah. Bangku yang kami duduki berada di lantai paling atas. Barra memilih kursi paling ujung agar mudah keluar setelah film selesai. Ia berdecak kesal setelah memperhatikan kesekeliling. Sekalipun filmnya sudah berlangsung cukup lama, animo penonton masih lumayan banyak. "Semoga tidak banyak backsound tambahan," keluhnya ketika melihat deretan depan terisi oleh sekelompok remaja.

Malas berdebat, perhatianku beralih pada ponsel dan mengubah mode menjadi silent. Beberapa menit kemudian penerangan mulai gelap. Iklan berisi tentang aturan yang harus di patuhi selama film berlangsung satu persatu mulai muncul di layar, pertanda film akan segera di mulai.

I (never) Give Up ( Sudah Diterbitkan)Where stories live. Discover now