Chap#3

64.5K 6.2K 232
                                    

Berbeda dengan remaja kebanyakan, masa SMA bagiku bukanlah fase kehidupan yang menyenangkan. Terlalu banyak kepedihan bercampur amarah sampai menjauhnya orang-orang yang melabeli diri sahabat. Tapi mereka tidak sepenuhnya bisa disalahkan. Pada saat itu emosiki masih labil dan merasa paling benar. Logika bagaikan terkunci dalam peti, terkunci rapat dan tenggelam dalam lautan tanpa dasar.

Pandangan Icha dan Rere membuatku canggung. Sedikit banyak ada kekhawatiran keduanya akan menjauh setelah mengetahui seperti apa hidupku dulu. "Kenapa kalian diam saja? Kalau apa yang gue ceritakan tidak membuat kalian nyaman, gue paham kok kalau ingin kalian menjauh."

Rere mencubit hidungku. "Jangan samakan gue dengan teman-teman lo dulu. Terlepas buruk atau nggak sikap lo waktu itu, sebagai teman seharusnya mereka menegur atau menasehati bukannya sengaja membiarkan. Lagi pula sepanjang kita saling kenal, gue perhatikan sikap lo normal dan biasa saja. Lebih baik gue berteman dengan mantan orang jahat daripada mantan orang baik."

"Setuju, kali ini gue sependapat sama lo. Semua orang punya masa lalu, selama bisa berubah menjadi baik kenapa harus dijauhi. Tuhan saja masih menerima pintu maaf, apa hak kita sebagai manusia biasa untuk menghakimi." Icha menimpali dengan percaya diri.

"Tumben otak lo ada isinya." Ledekan Rere dibalas delikan tajam Icha. Sedetik kemudian aksi saling menyindir terdengar dari keduanya.

Aku tersenyum, bersyukur pada akhirnya dipertemukan dengan orang-orang yang tulus. Kami memang belum lama saling mengenal. Dibanding teman-temanku dulu, kehidupan ekonomi keduanya tergolong biasa saja. Tapi berada di dekat mereka justru membuatku nyaman. Terkadang kami melakukan hal gila yang membuat kepala orang-orang menggeleng. Bagiku itu lebih baik daripada menjaga image baik, pura-pura tersenyum padahal dibelakang membicarakan keburukan.

"Duh, ngapain lo harus dilihat orangnya." Rere kembali menyikut lengan Icha

Icha kembali mengalihkan perhatiannya pada kami. "Penasaran tau, tadi belum lihat jelas itu playboy dari negara api."

"Playboy dari negara apa tadi lo bilang? Negara api?" Baru kali ini aku mendengar Icha menjuluki seseorang dengan sebutan tadi.

"Iya, Barra kan masih ada kerabat sama api, bara api," jawab Icha sambil melirik ke arah pasangan yang mendadak menjadi pusat perhatian.

Rere merengut tanpa tidak setuju. "Terserah lo deh." Dia kembali menatapku. "Lo masih mau disini? Kita bisa pindah kalau lo merasa kurang nyaman."

"Gue baik-baik saja. Pemandangan seperti ini bukan hal yang baru. Hubungan kami sudah lama terputus itu pun bukan dalam artian pernah terjalin rasa. Dia mau pacaran dengan siapa saja tidak ada hubungannya dengan gue." Kedua temanku saling pandang sebelum memberi tatapan kasihan.

Pertemuan dengan Barra sudah menjadi resiko dengan kembali melanjutkan hidup di kota ini. Setelah dua tahun menjauh dan berusaha mengenyahkan bayangannya, aku pikir menghadapi kenyataan akan mudah. Ternyata semua sia-sia, perasaan yang terpedam masih tetap sama.

"Eh si playboy dari negara api ke sini tuh." Pekik Icha tertahan. Dia lebih salah tingkah dibanding diriku.

Ada sedikit kelegaan saat melihat Barra menghampiri kami seorang diri. Laki-laki berjalan tanpa menoleh kesekeliling. Dia terkesan tak peduli dengan tatapan orang-orang disekitarnya. Wajahnya yang sebenarnya menarik agak sedikit menyeramkan dengan tatapan tajamnya.

Kuseruput sisa minuman dingin di botol kaca. Mengumpulkan potongan kepercayaan diri yang tercerai berai saat menyadari langkah Barra semakin mendekat. Kedua temanku ikut terdiam, mengawasi keadaan dengan was-was.

"Kamu kenal sama Mieska ?" tanya Barra tanpa basa-basi. Dia berdiri tepat diujung meja kami.

"Aku tau apa maksudmu. Kami satu angkatan tapi berbeda jurusan. Gedung kuliahnya juga tidak sama. Masih banyak yang harus kupikirkan selain mencampuri hubungan kalian kalau itu yang jadi kekhawatiranmu."

I (never) Give Up ( Sudah Diterbitkan)Where stories live. Discover now