Chap#2

68.9K 6.1K 159
                                    

Neraka, kurang lebih seperti itu atmosfir yang terasa di sekeliling sekarang. Dinginnya ac bagaikan hembusan angin saat matahari bersinar terik menerpa tubuh penuh keringat. Siapa lagi kalau bukan Barra yang menjadi penyebab ketidaknyamanan ini. Dia mungkin sengaja menuruti permintaan Tante Cinta untuk bergabung bersama kami semata-mata agar aku tidak betah dan segera angkat kaki dari rumahnya.

Tante Cinta pamit sebentar, meninggalkan kecanggungan di antara kami berdua, lebih tepatnya bagi diriku. "Kamu berbuat ulah apalagi sampai kembali ke sini?" tanya Barra pelan dan datar.

"Memangnya aneh kalau aku kembali tinggal di rumah orang tua sendiri," balasku tidak kalah tenang.

"Oh jadi kedatanganmu hanya untuk menemui Bunda?" sindirnya.

"Memangnya ada alasan yang lebih masuk akal lagi? Aku diminta Bunda mengantar barang karena supir sedang sakit, apa boleh buat." Ugh, perang mental ini tidak boleh di menangkan oleh dia. Membiarkan Barra mengetahui perasaanku yang sebenarnya bisa jadi masalah besar.

"Benarkah? Tapi sepertinya aku pernah mendengar alasan itu, berkali-kali... dulu." Barra mengakhiri pembicaraan dengan penuh penekanan. Perubahan ekspresi wajahnya bukan sedang berbasa-basi. Ya, dulu aku memang sering berbohong hanya demi bisa menemuinya.

Kemunculan Tante Cinta mengaburkan aroma kemarahan. Sedetik kemudian Barra mengubah posisi duduk, dia begitu luwes memerankan anak yang manis. Bahasa tubuh menunjukan kasih sayang tulus pada ibundanya, berbanding terbalik dengan hubunganku dan Bunda yang lebih mirip Tom dan Jerry.

Barra melirik sebentar padaku lalu bangkit sembari meraih ranselnya. Dia
melenggang menuju kamarnya setelah mengecup lembut pipi Tante Cinta. "Barra ke kamar dulu, Bun. Mau mandi dulu, gerah."

Kemungkinan kami akan di pertemukan kembali cepat atau lambat akan terjadi. Percuma saja bersembunyi mengingat kedekatan antar keluarga dan tinggal di kota yang sama. Pada akhirnya aku di tuntut untuk lebih bijak, mampu menerima kondisi tidak menyenangkan sebagai balasan atas kesalahan yang pernah terjadi. Masih beruntung Barra tidak mengomel atau mengusirku di hadapan keluarganya.

Kepalaku menggeleng ngeri membayangkan jika itu terjadi. "Sudah sore, Tante. Devira pamit dulu."

"Loh, kenapa buru-buru? Kamu makan malam di sini saja ya. Biar Tante nanti yang menghubungi bundamu," pintanya penuh harap.

"Maaf Tante, Bunda bisa ngomel panjang lebar kalau Vira sampai pulang telat. Lain kali deh kalau ada waktu kosong, Vira mampir sekalian bareng Bunda." Hampir saja aku menyerah pada tatapan mengiba wanita di hadapanku. Tapi mau bagaimana lagi, Barra bisa menuduhku memanfaatkan kebaikan ibundanya jika mengiyakan ajakan Tante Cinta.

Kami berjalan bersama menuju carport sambil mengobrol tentang banyak hal. Selama itu tidak menyangkut putra keduanya, apapun bisa kuterima. Dengan hubungan kami yang di ibaratkan seperti minyak dan air, menahan rasa ingin tau adalah pilihan terbaik.

Sekuat tenaga pandangan menatap lurus, mengalihkan godaan untuk tidak melirik ke arah jendela kamar Barra di lantai atas. Bukan sesuatu yang mudah ketika menyadari bahwa sayang itu masih tersisa.

"Kamu baik-baik saja, Ra?" tegur Tante Cinta melihatku diam saja.

"Iya, Tante. Sebentar lagi ujian jadi banyak pikiran. Salam buat Om Andra ya," ucapku sebelum membuka pintu mobil.

"Kamu bati-hati nyetirnya, jangan sampai meleng. Di ujung jalan dekat gerbang komplek banyak anak-anak." Ingat Tante Cinta sambil melambaikan tangan.

Sepanjang jalan pulang konsentrasi terpecah. Pertemuan dengan Barra menjadi anugerah sekaligus mimpi terburuk yang menjadi nyata. Dua tahun berlalu, sosoknya menjadi semakin tampan dan dewasa. Satu hal yang tidak berubah hanya kebenciannya padaku.

I (never) Give Up ( Sudah Diterbitkan)Where stories live. Discover now