33. Siapa Pembunuh Te-gak Suseng?

Start from the beginning
                                    

Dengan tatapan beringas dia menyapu pandang muka seluruh hadirin. Waktu matanya bentrok dengan pandangan Pui Ci-hwi, serta merta timbul perasaan dalam sanubarinya, gadis jelita yang pernah menjadi pujaannya, kini juga akan gugur bersama. Kehidupan manusia di dunia fana ini memang tiada yang abadi, nasib sering mempermainkan setiap orang. Kini tibalah saatnya dia turun tangan, tidak boleh ragu-ragu. Mendadak ia keluarkan tangan kiri serta teracung ke atas, tiada orang atau sesuatu yang dapat mengubah lagi nasib semua hadirin?

Pada detik-detik yang gawat sebelum Ji Bun sempat menjatuhkan Ngo-lui-cu, tiba-tiba terasa oleh Ji Bun lengan kirinya kesemutan dan mengejang. Seluruh tenaga yang dikerahkan seketika lenyap. Lebih celaka lagi, Ngo-lui-cu tahu-tahu sudah terlepas dari genggamannya, lengan kirinya lantas menjulur lemas ke bawah.

Kejut Ji Bun luar biasa, serasa sukma meninggalkan raganya, siapakah yang kebal terhadap racun di tangan kirinya, sehingga segala usahanya menjadi gagal total?

Dalam sekejap itu. Ji Bun merasa kepala berat dan mata berkunang, bumi terasa bergunjing, pikirannya menjadi hampa dan kabur.

Sekali sapu ia tendang meja kursi terus melompat mundur, waktu dia berpaling, seketika ia melenggong. Tahu-tahu dalam gardu bertambah seorang nyonya muda, begitu molek dan rupawan sampai Ji Bun tidak berani menatapnya terang-terangan, pakaian yang dikenakan berwarna serba merah, tak ubahnya seperti puteri raja. Tangannya tengah menimang-nimang Ngo-lui-cu, wajah nan cantik membesi geram, sepasang matanya yang bening bersih mempesona menyorotkan sinar terang.

Pandangan seluruh hadirin tertuju kepada nyonya muda ini, begitu kereng dan penuh wibawa nyonya muda ini, meski berdiri tidak bergerak, namun tiada orang yang berani mengawasinya lama-lama. Hening lelap sekian lama, akhirnya Siang-thian-ong yang bersuara: "Ngo-lui-cu!"

Serta merta pandangan hadirin berbalik ke arah Ji Bun yang berdiri bagai patung.

Sungguh menyesal, benci dan murka dan kaget hati Ji Bun. Kalau sejak tadi dia turun tangan, segalanya sudah berakhir. Padahal sejak kapan nyonya muda ini berada di beiakangnya, sama sekali tidak diketahuinya.

Bu-cing-so berdiri paling dekat dengan nyonya muda ini, segera ia memberi hormat padanya serta menyapa: "Sejak kapan Siancu tiba?"

"Baru saja," sahut nyonya muda baju merah, suaranya merdu nyaring bagai kicau burung kenari, "agaknya memang sudah kehendak Thian!"

Siancu? Siapakah dia? Ji Bun bertanya-tanya dalam hati.

"Darimana Siancu tahu ......" tanya Bu-cing-so.

Nyonya muda baju merah segera memotong: "Seorang yang mempunyai sesuatu rencana jahat, jika menghadapi situasi yang menegangkan dan tetap tidak tergoyahkan pendiriannya, itu berarti dia sudah nekat dan bertekad gugur bersama musuh, agaknya kalian lalai dalam hal ini."

Beberapa patah kata ini membuat seluruh jago-jago silat yang hadir sama merah mukanya.

Tiba-tiba Pui Ci-hwi, seharusnya bernama Siangkoan Ci-hwi, karena dia puteri kandung Siangkoan Hong, menjerit pelahan terus menubruk ke dalam pelukan nyonya muda itu. Nyonya muda baju merahpun lantas memeluknya. Lalu dia membalik tubuh dan mengundurkan diri, masuk lewat pintu bundar yang ada di arah kiri sana.

Siang-thian-ong menggeram bagai guntur menggelegar, serunya: "Ayahnya srigala, puteranyapun srigala, mana boleh diantapi hidup di dunia ini."

Ji Bun tersentak sadar dari kejut yang membuat pikirannya butek. Mendadak ia menyadari keadaan dirinya yang serba kepepet dan nasib apa yang bakal menimpa dirinya. Tanpa bicara mendadak dia menubruk ke arah Siangkoan Hong, beruntun dia lancarkan serangan dengan Bu-ing-cui-sim-jiu. Gerak tubrukannya ini secepat kilat, mendadak lagi, siapapun yang disergap begini pasti akan kelabakan. Tapi secara refleks Wi-to-hwecu angkat sebelah tangannya menangkis, dia lupa bahwa Ji Bun menyerang dengan tangan beracun yang bakal mencabut nyawanya.

Hati Budha Tangan Berbisa - Gu LongWhere stories live. Discover now