17. Tabib Keliling Thian-bak-sin-jiu

2.6K 67 2
                                    

"Dik, aku ....... beberapa kali aku hampir terjun ke bawah menyusulmu," dengan malu-malu Thian-thay-mo-ki menunduk, mukanya yang pucat menjadi merah.

Inilah limpahan isi hati yang murni, cinta sejati. Ji Bun amat menyesal, dia merasa tidak patut menerima cinta murni ini, tiada apa-apa yang pernah dia berikan kepadanya, malahan rasa cinta sedikitpun tiada, bahwa belakangan ini ia mau bergaul sama dia hanya ingin memperalatnya demi mencapai tujuan menuntut balas keluarganya. Kini Ji Bun betul-betul malu diri ia merasa bahwa perbuatan dan tujuannya teramat hina dan kotor, ia ingin membeber kenyataan ini dan mohon maaf. Malah iapun ingin memeluknya, serta membisiki bahwa untuk selanjutnya ia akan memberi balasan setimpal akan cinta kasih besarnya.

Akan tetapi ia tidak berbuat sejauh itu, pikiran lain lekas sekali membuatnya tenang kembali, yaitu lengan kirinya itu, tangan berbisa, jika benar apa yang dikatakan si orang tua aneh, maka selama hidup dirinya takkan ada kesempatan lagi untuk main cinta dengan perempuan.

Seperti disayat dan ditusuk sembilu rasa hatinya, sungguh ia tidak habis mengerti kenapa semua ini bisa terjadi, apakah ia harus menyalahkan ayahnya?

"Dik, bagaimana kau bisa tetap hidup?" tanya Thian-thay-mo-ki kemudian.

Ji Bun lantas ceritakan pengalamannya, namun soal tangan kirinya tetap dia rahasiakan. Lalu dia bertanya:

"Cici, kau pernah dengar orang yang bernama Toh Ji-lan?"

"Belum pernah dengar, tapi bisa kita selidiki."

"Kemana Jit-sing Kojin?"

Thian thay-mo-ki mengertak gigi, katanya :

"Hampir saja aku diperkosa olehnya, untung tanda perguruanku menyelamatkan aku." Ia lantas menceritakan kejadian terakhir yang dialaminya. Lalu katanya pula. "Dik, menurut hematku, Jit-sing kojin pasti sekongkol dengan Biau-jiu Siansing."

"Mengapa kau berpendapat demikian??"

"Kenyataan amat jelas, Bu-cing-so dan Siang-thian-ong telah mengawasi Biau-jiu Siansing dengan ketat, betapapun tinggi Ginkangnya jangan harap bisa lolos dari pengawasan kedua bangkotan lihay itu, namun Jit-sing-kojin justeru muncul pada saat yang menentukan, dia sengaja memancing kemarahan Bu-cing-so untuk melabraknya sehingga Biau-jiu Siansing mendapat kesempatan untuk lari."

"Analisamu memang masuk akal, namun kedua bangkotan tua itn sama-sama tak berani turun tangan secara gegabah, agaknya merekapun menguatirkan sesuatu, sebetulnya gabungan kekuatan mereka cukup berlebihan untuk membereskan seorang Biau-jiu Siansing, namun mereka tetap ragu-ragu, dari percakapan mereka agaknya rela untuk gugur bersama Sek-hud, terang sekali di dalam hal ini ada latar belakang, yang tidak kita ketahui."

"Ya, akupun, seperasaan, cuma kita tak habis. pikir."

"Menurut pendapatmu, dapatkah kedua bangkotan itu menyandak Biau-jiu Siansing?"

"Tidak mungkin, Ginkang Biau-jiu Siansing tidak bernama kosong."

"Menurut kabar Sek-hud menyimpan rahasia pelajaran ilmu silat, Biau-jiu Siansing kalau berhasil mempelajarinya, ditambah kepandaian sendiri yang, sudah begitu tinggi, mungkin tiada jago kosen yang dapat menandinginya."

"Mungkin, namun pihak Wi-to-hwe tidak akan berpeluk tangan," dengan cekikikan Thian-thay-mo-ki lalu menambahkan: "Dik, marilah kita turun gunung mencari makanan."

Baru sekarang Ji Bun juga merasakan perutnya keruyukan, laparnya setengah mati, sahutnya:

"Ya, tiga hari tidak makan, perutkupun sudah berontak."

Mereka lantas berlari turun dari Pek-ciok-kong, di bawah gunung ada sebuah kampung di mana mereka mendapatkan sebuah warung lalu pesan makanan ala kadarnya.

Hati Budha Tangan Berbisa - Gu LongWhere stories live. Discover now