21. Racun Bu-ing-cui-sim-jiu

2.5K 49 0
                                    

Apa boleh buat Jay-ih-lo-sat mundur ke samping, katanya: "Ksatria boleh dibunuh pantang dihina, secara sukarela Cayhe menerima gemblengan ini."

Pek-siu-thay-swe pindah sekopnya ketangan kiri, lalu berkata dengan suara berat: "Sambut pukulan ini!"

Kedua lutut rada ditekuk dan setengah jongkok, telapak tangan kanan tiba-tiba mendorong ke depan, segulung angin kencang seketika menerjang ke arah Ji Bun.

Sedikitpun Ji Bun tak berani lena, ia kerahkan sepenuh kekuatannya, begitu menarik napas, mulut berteriak ia songsong pukulan lawan.

"Daaar!" dahsyat luar biasa pasir berterbangan dan batu berloncatan, dan pohon sama berhamburan, beberapa tombak sekeliling gelanggang pepohonan sama tergetar, sungguh hebat dan mengejutkan bentrokan kedua kekuatan yang luar biasa ini.

Kontan Ji Bun merasakan pandangan berkunang-kunang, darah mengalir balik ke atas hampir menyembur dari mulutnya, namun ia tetap tak bergeming di tempatnya berdiri sekokoh gunung.

Sebaliknya Pek-siu-thay-swe tergeser empat kaki dari kedudukan semula, kulit daging mukanya berkerut, matanya memancarkan sinar-sinar tajam yang mengerikan, keringat bertetes-tetes, lama sekali baru dia kuasa berbicara: "Habis ludes! Lohu memang cari penyakit dan memungut malu sendiri, sejak kini gelar Pek-siu-thay-swe kuhapus dari permukaan bumi."

Sekali berkelebat, badannya melejit tinggi dan lenyap di dalam hutan.

Jay-ih-lo-sat sebaliknya berdiri melongo untuk sekian lamanya tanpa bersuara, hasil adu kekuatan ini sungguh di luar dugaannya, mimpipun tak pernah dia duga bahwa penilaiannya terhadap Ji Bun meleset begitu jauh.

Ji Bun sendiri juga amat haru, diam-diam ia meyakinkan diri sendiri dari hasil ujian barusan, ia percaya bahwa kemampuannya sudah cukup berkelebihan untuk bekal menuntut balas kepada musuh-musuhnya.

Dengan melongo Jay-ih lo-sat berkata: "Sahabat muda, Lwekangmu jauh di atas dugaanku."

"Ah, terlalu memuji," mulut Ji Bun menjawab, namun dalam hati ia membatin: "Memang masih banyak persoalan yang berada di luar dugaanmu."

Setelah tertegun lagi sejenak Jay-ih-lo-sat berkata: "Sahabat muda hendak kemana, atau kebetulan lewat di sini?"

Tergerak hati Ji Bun, sahutnya: "Cayhe ada urusan, sengaja hendak mengunjungi Hwecu kalian."

"O, kalau begitu marilah kuantar," langsung mereka terus berlari menuju ke markas Wi-to-hwe. Dalam hati Ji Bun rada kecewa karena tak sempat menguntit gadis baju merah Pui Ci-hwi sesuai rencananya tadi kesempatan itu mungkin sukar diperoleh lagi, kalau tidak menggunakan akal, apa lagi hendak membongkar semua teka-teki yang selama ini mengganjel hatinya, namun urusan sudah kadung berlarut, biarlah cari kesempatan lain saja.

Sepanjang jalan, diam-diam Ji Bun memperhatikan sekelilingnya, didapatinya bahwa situasi sekarang sudah jauh berbeda dengan pertama kali dia datang tempo hari, mulut lembah untuk memasuki markas besar kini sudah didirikan pos penjagaan, sepanjang jalan banyak tersebar pula petugas ronda, di sekitar markas besar tidak sedikit pula didirikan rumah-rumah gedung dengan denah yang cukup luas.

Agaknya Jay-ih-lo-sat mempunyai kedudukan tinggi di dalam perkumpulan, tanpa memberi laporan lebih dulu, dia langsung membawa Ji Bun masuk ke ruang pendopo. Setelah Ji Bun dipersilakan duduk, Jay-ih-lo-sat lantas mengundurkan diri.

Pikiran Ji Bun cepat bekerja, sebentar lagi ia harus mengorek keterangannya. Belum berhasil pikirannya menemukan putusan, tahu-tahu Wi-to-hwecu sudah muncul dari pintu sana.

Lekas Ji Bun berdiri menyambut, katanya sambil membungkuk hormat: "Cayhe menghadap Hwecu."

Wi-to-hwecu tertawa lantang, katanya riang: "Sahabat muda tak perlu banyak adat, silakan duduk."

Hati Budha Tangan Berbisa - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang