30. Cinta dan Dendam Tak Bisa Berdampingan

2.2K 51 0
                                    

Dengan uring-uringan Ji Bun putar ke tempat semua, walau hatinya tidak rela, namun apa boleh buat, diam-diam ia sesalkan dirinya yang terlalu angkuh dan suka membawa adatnya sendiri, kenapa petunjuk Biau-jiu Siansing diabaikan untuk membicarakan persoalan ini, kalau dia mau membantu secara diam-diam, jelas Kwe-loh-jin takkan mampu menyembunyikan diri lagi, namun menyesal sudah kasip dan tak berguna, kini dia harus mengaku kalah, bagaimanapun anting-anting pualam itu harus segera direbut kembali, lalu mencari tahu asal-usul lawan dari mulut Pui Ci-hwi. Maka ia lantas keluarkan Hud-sim serta menaruh di atas batu, serunya: "Kwe-loh-jin, anggaplah kau yang menang, nah inilah kutaruh di sini."

Kwe-loh-jin tergelak-gelak kesenangan, serunya: "Sekarang boleh kau pergi ambil barangmu."

Ji Bun menekan rasa gemasnya, cepat ia meluncur ke arah timur. Jarak tiga li sekejap saja sudah dicapainya, memang di atas gundukan tanah di tengah hutan sana bertengger sebuah kelenteng kecil, suasana gelap dan sunyi seram.

Ji Bun kuatir ditipu, lekas dia dorong pintu terus melangkah masuk, di bawah meja sembayang, dilihatnya meringkel sesosok tubuh, memang dia bukan lain Pui Ci-hwi adanya. Sementara anting-anting pualam di taruh di atas meja. Dia jemput anting-anting itu lebih dulu, setelah diperiksa dan, tidak kurang suatu apa barulah lega hatinya, dia simpan ke dalam kantong lalu memeriksa keadaan Pui Ci-hwi.

Tampak wajahnya pucat dan kurus, kedua matanya terpejam, keadaannya seperti tidur pulas, napasnyapun teratur, bertambah lega hati Ji Bun. Di mana tutukan Hiat-to Kwe-loh-jin harus memeriksanya dulu baru akan diketahuinya, hal ini membuatnya ragu-ragu. Memang Pui Ci-hwi adalah musuh, dia boleh membunuhnya, namun dia tidak berani menyentuhnya. Tapi keadaan sekarang tidak memberi waktu kepadanya untuk bimbang. Terpaksa dia keraskan kepala, dengan jari-jari gemetar dia pegang urat nadi pergelangan tangan si nona tidak ada tanda apa-apa, lalu dia bergantian meraba tempat lain, terasa empuk licin dan halus, setelah sekujur badan orang dia raba kian kemari tetap tidak menemukan apa-apa, ditambah bau harum gadis jelita, seketika jantung Ji Bun berdebur keras sekali.

Memangnya dia pernah kasmaran terhadap gadis jelita ini, namun situasi kemudian yang kejam ini telah mengubah segalanya.

Setelah dia periksa semua Hiat-to sekujur badannya, dan tidak menemukan keanehan apa-apa, diteliti air mukanya, baru mendadak dia sadar kemungkinan si nona terpengaruh oleh obat racun yang menidurkan, jadi bukan lantaran Hiat-tonya tertutuk seperti apa yang dikatakan Kwe-loh-jin.

Menawarkan racun bagi Ji Bun bukan kerja yang sulit, lekas dia keluarkan sebutir Pit-tok-tan yang selalu dibawanya dan dijejalkannya ke mulut Pui Ci-hwi, hanya dalam sekejap saja Pui Ci-hwi sudah bergerak dan siuman, dengan mengeluh lirih dia membalik tubuh.

"Hah, kau ......" teriaknya sambil merangkak bangun, agaknya dia kaget dan heran melihat keadaan dirinya ditempat asing ini.

Sekuatnya Ji Bun tekan perasaannya yang berkobar tadi, katanya dingin: "Nona Pui merasa tidak apa bukan?"

Sekejap Pui Ci-hwi menatap Ji Bun, tanyanya dingin: "Apa yang telah terjadi?"

Di bawah cahaya remang bintang-bintang di langit, Ji Bun melihat wajah si nona murung dan masgul seperti semula sebelum diculik Kwe-loh-jin tempo hari, walau menghadapi musuh besar, namun sedikitpun tidak gentar. Tapi Ji Bun tidak peduli akan sikapnya ini, katanya terus terang: "Perkumpulanmu mengeluarkan imbalan yang cukup besar untuk menolong jiwa nona melalui tanganku."

"Apa ...... apa katamu?"

"Nona sekarang sudah merdeka."

"Maksudmu dengan imbalan tadi?"

"Ya, Wi-to-hwe sudah mengeluarkan imbalannya."

"Imbalan apa?"

"Dengan Hud-sim, kau ditukar dari tangan Kwe-loh-jin."

Hati Budha Tangan Berbisa - Gu LongWhere stories live. Discover now