30. Cinta dan Dendam Tak Bisa Berdampingan

Start from the beginning
                                    

"Hud-sim?" teriak Pui Ci-hwi keras-keras, mukanya yang semula dingin kaku kini berubah haru dan sedih, suaranya gemetar: "Katamu Hud-sim? Untuk menebus diriku?"

Tiba-tiba dia menjambak rambut kepalanya sendiri, badannya terbungkuk-bungkuk dan sempoyongan, mulutnya berteriak-teriak seperti orang kalap: "Hud-sim adalah benda yang tak ternilai harganya, aku tidak setimpal, aku .... aku tidak .... tidak setimpal ...."

Ji Bun jadi ketarik dan ingin tahu, tanyanya: "Tidak setimpal? Kenapa?"

Seperti orang mengigau Pui Ci-hwi berkata: "Dosaku terlalu besar, mampuspun tidak setimpal untuk menebusnya."

Ji Bun melengak, dia tidak tahu apa arti ucapan Pui Ci-hwi, walau dia tidak ingin mengorek rahasia orang, namun tak urung dia bertanya pula, "Apa maksud nona dengan katamu tadi?"

Membesi muka Pui Ci-hwi, katanya sepatah demi sepatah: "Aku ini orang yang patut mati, tidak perlu Gi-hu mengeluarkan imbalan sebesar itu."

"Gi-hu (ayah angkat)? Siapa ayah angkat nona?" tanya Ji Bun.

Sedikit ragu-ragu akhirnya Pui Ci-hwi berkata dengan tegas: "Wi-to-hwecu."

"O!" baru sekarang Ji Bun mengerti, waktu pertama kali dirinya naik ke Tong-pek-san, Pui Ci-hwi pernah mengaku dirinya terhitung setengah majikan di sana, kiranya dia adalah anak angkat ketua Wi-to-hwe, tapi kenapa dia bilang dirinya patut mampus?"

Semula Ji Bun kira orang adalah murid Pek-ciok Sin-ni, belakangan baru diketahui bahwa dugaan meleset, namun dari terjadinya peristiwa Sek-hud tempo hari, dapatlah disimpulkan kalau Wi-to-hwe pasti ada hubungan erat dengan Pek-ciok Sin-ni, namun hal ini tidak perlu dia ketahui lebih lanjut. Sekarang dia alihkan pembicaraan pada persoalan yang pokok: "Nona patut mati, apa maksudmu?"

"Karena .... karena aku merusak diriku sendiri, juga membikin kotor nama baik Gihu, lebih celaka lagi aku telah menyia-nyiakan kebaikan orang-orang yang memperhatikan diriku, sekarang ketambahan lagi kejadian ini, matipun belum setimpal menebus dosaku."

"Cayhe tidak mengerti," ujar Ji Bun.

Tiba-tiba Pui Ci-hwi menarik muka, katanya dengan nada haru dan tandas: "Bolehkah aku mohon sesuatu padamu?"

"Memohon kepada Cayhe ..... soal apa?"

"Sukakah kau tolong aku membunuh Liok-kin."

Ji Bun heran dan tidak mengerti, si nona pernah jatuh cinta pada pemuda itu, pernah ditipu, pernah pula memohonkan ampun kepada Jay-ih-lo-sat yang hendak membunuhnya, kini dia minta padanya untuk membunuhnya, kenapa begini? Serta merta dia terbayang kepada Dian Yong-yong, gadis jelita yang menjadi gila karena dipermainkan cintanya, rasanya dia menjadi paham sedikit, tanpa terasa, dia bertanya: "Membunuh Liok-kin keparat itu? Bukankah nona pernah menyintainya?"

Gemetar dan berkerut-kerut kulit muka Pui Ci-hwi, sorot matanya memancarkan sinar hijau yang diliputi napsu dendam dan membunuh, teriaknya bengis: "Ya, aku pernah mencintainya, tapi sekarang aku ingin membunuhnya, karena dia telah menodai aku ......."

"Menodai kau?"

"Ya, dia menodai kesucianku!"

Berubah air muka Ji Bun, timbul pula perasaan aneh yang sukar diutarakan dengan kata-kata. Maklumlah dulu dia pernah terpikat dan mengejar gadis pujaan hatinya dengan bertepuk sebelah tangan, namun karena keadaan situasi memaksa sehingga belakangan berubah perasaan ini, cinta pertama yang pernah membuat getir hatinya sudah lama terpendam, namun asmara yang terpendam ini akan timbul bila dipengaruhi oleh sesuatu. Kini bak sebentuk batu pualam yang semula mulus bersih dan kini telah retak dan cacat, warnanya luntur lagi, si nona tidak sebersih dan sesuci dulu pula.

Hati Budha Tangan Berbisa - Gu LongWhere stories live. Discover now