VI Sebuah Taktik

22 2 0
                                    

6

Sebuah Taktik

Semua manusia berada dalam kepanikan. Ketika mereka berlari, disana ada yang menghadang. Rasanya setiap upaya yang dilakukan tak ada artinya. Kota yang menjadi primadona kebanyakan warga sipil, kini telah runtuh menjadi kota mati, seperti kuburan mayat yang menempatkan mayat pada setiap tempatnya. Tak ada aktifitas orang berlalu-lalang di sepanjang trotoar seperti biasanya. Semua berlari menyelamatkan diri. Menyatu dengan kegelapan, menjadi tak terlihat. Serangan yang Arch lakukan sangat membuahkan hasil bagi kehidupan manusia. Membuat setiap orang hidup dalam keputusasaan, kesengsaraan, dan rasa takut yang menyelimuti mereka.

Sementara itu, pasukan Primus berupaya dengan sebisa mungkin melumpuhkan Gigantes. Walaupun mereka telah menyadari bahwa usahanya hanyalah membuang-buang waktu. Tapi mereka tetap melakukannya, mengikuti perintah dari atasan untuk tetap menembaki monster dengan tinggi tiga puluh meter itu. Meskipun nyawa mereka menjadi taruhannya, dan keluarga setiap pasukan yang ada, telah menunggu dirumah, menanti sang ayah untuk pulang.

Bala bantuan darat telah datang membantu. Melakukan aksinya dengan meluncurkan tembakan bola peluru yang besar dari sebuah tank baja bertenagakan dua puluh bison tua. Melukainya dengan menyayat kaki Gigantes dengan pisau dan pedang yang tajam. Tapi perjuangan mereka sia-sia. Kulitnya teramat sangat tebal, sulit ditembus walau menggunakan senjata paling mematikan di dunia. Bahkan untuk sekedar membuat luka goresan kecil saja, mereka tidak bisa melakukannya.

Kulit Vibranium Gigantes berasal dari batuan asteroid luar angkasa bernama Pallas, dan terletak di sabuk asteroid sistem tata surya. Dengan eksperimen saling mencampurkan beberapa DNA manusia dengan Uragi, makhluk dengan postur tubuh besar nan tinggi yang mendiami Planet Nabhan. Di tambah dengan DNA makhluk Arch, yang membuat Gigantes turut menjadi monster yang kejam, bengis, dan tak kenal belas kasih.

Suaranya membuat bulu kuduk merinding, teriakannya dapat mengakibatkan jantung ini seolah berhenti bekerja. Inilah wujudnya, sosok monster mitologi kuno yang ditakuti. Di ceritakan secara turun-temurun, hingga menjadi sebuah legenda yang abadi.

Ralphie dan Viola menengadah menatap Gigantes dengan pesawat-pesawat tempur yang sedang menyerangnya. Viola berbalik menatap Ralphie, memberikan pedang yang di genggamnya pada pria berambut poni menyamping ini.

"Peganglah, kau yang akan menggunakan pedang pemberian Dewa Arceus."

Ralphie terkejut, rasanya tak mungkin pedang suci Dewa Arceus, harus ia yang menggunakannya. Bahkan untuk sekedar mengangkatnya, Ralphie mengalami kesulitan.

"Berat sekali, pedang ini!" keluh Ralphie, ia bersikeras mengangkat sebilah pedang itu dengan kedua lengannya.

"Perlu kubantu, Ralph?" tawar Viola memberi pertolongan.

Pria ini langsung menyetujui dengan menganggukkan kepalanya. Viola mengarahkan tangannya pada kedua lengan Ralphie. Mengucapkan mantra sihir, dan mengeluarkan cahaya dari kedua tangan mereka berdua.

Setelah Viola mengucapkan beberapa patah kata mantra andalannya, Ralphie merasa ada yang berbeda dengan dirinya. Lengannya menjadi lebih ringan sekarang. Dan Nelipun dapat mengangkat pedang yang terbuat dari baja dewa itu dengan sangat ringan. Bagai memegang pedang pelastik yang ia jadikan mainan saat kecil.

"Bagaimana bisa, ini terjadi? Menakubkan! Benda ini menjadi sangat ringan." Ralphie mengangkat pedangnya, menghunuskan kesana-kemari.

"Bukan pedangnya yang ringan, tapi tanganmulah yang menjadi kuat."

Gerbang AntariksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang