18. Salon

21.3K 1.7K 33
                                    

Rambut panjang milik Alana pun tergerai. Alana membeku, ia menjadi terlampau was-was. Matanya melirik mengikuti segala pergerakan yang Cia buat. Jantungnya terasa jatuh dari tempatnya begitu melihat gunting di tangan kanan Cia.

Tiba-tiba kedua temannya Cia yang lain ikut muncul, membuat jantung Alana berdegup kencang. Ini jauh, jauh dari mimpi buruk yang biasanya muncul di tengah tidurnya Alana.

"Tahan badan dia," perintah Cia dengan wajah songongnya. Alana ingin kabur dari tempat yang ia duduki. Namun ternyata ia kalah cepat dibanding kedua teman Cia dan Gita. Mereka bertiga langsung menahan tubuh Alana di kursi.

Cia berjalan mendekati Alana. Alana membeku namun jantungnya tak bisa tidak cepat bekerja. Keringat mulai membasahi pelipis gadis itu. Tangannya juga gemetar, kawan-kawan Cia dapat merasakannya, membuat mereka tersenyum miring.

Segera saja Cia memotong rambut panjang kesayangan Alana sampai sebahu lebih sedikit. Memotong tanpa perasaan dan asal. Mereka berempat justru tertawa-tawa melakukan hal sadis ini pada Alana.

"Kak Cia, jangaaan!!" Alana berusaha bergerak-gerak untuk mencegah perbuatan Cia. Tapi ini justru membuat Cia jadi senang, karena potongannya menjadi sangat asal dan tak beraturan. Alana juga tidak dapat membendung air mata. Tak terasa, wajahnya sudah basah karena air mata.

Cia tertawa. "Kelar juga urusan gue," Cia melempar gunting yang ia pegang sembarang, "semoga suka sama rambut barunya ya." Cia mengibas rambut Alana lalu meninggalkan gadis itu yang terus menangis. Gita dan kawan-kawan Cia pun juga ikut pergi sambil tersenyum senang. Betapa puasnya Gita melihat Alana menangis.

Pintu gudang tertutup, tanda mereka sudah keluar. Namun Alana tidak peduli, bahunya masih bergetar dan kedua telapak tangannya menutupi wajahnya. Ia menangis terisak seperti ingin menghabiskan air matanya. Sudah berapa lama Alana menunggu rambutnya menjadi panjang sepinggang, ternyata dapat habis hanya dalam hitungan detik.

Merasa lebih tenang, Alana mulai mengusap air mata yang membasahi wajahnya. Ia tidak berani keluar gudang karena malu. Rambutnya benar-benar terpotong asal-asalan. Segera ia merogoh tasnya untuk mengambil topi upacara. Lalu ia gulung ke atas rambutnya dan ia tutup dengan topi.

Alana pun membuka pintu gudang. Mata sembab dan hidung merahnya masih ketara. Sinar matahari memasuki indera penglihatannya, membuat matanya spontan menyipit.

Alana berjalan sambil menunduk. Ia takut orang-orang di sekitarnya heran melihat dirinya yang memakai topi seperti itu. Tak di sengaja, tubuhnya bertabrakan dengan seseorang yang tengah berlari, membuat topi yang Alana pakai terjatuh.

Alana spontan menganga lebar seraya memegangi rambutnya yang hancur berantakan. "Sorry, sorry," Alana mendongak begitu cowok itu bicara. Mata Alana melebar begitu melihat ternyata Kendra yang habis bertabrakan dengannya.

Alis tebal Kendra menyatu. "Alana?" Kendra memperhatikan rambut dan juga mata sembab Alana. "Sejak kapan rambut lo jadi begini? Lo abis nangis?"

Alana menunduk, membendung air matanya kuat-kuat. Betapa malunya ia berpenampilan seperti ini di hadapan Kendra. Kalau saja Kendra tertawa, Alana sudah siap.

Kendra memegang bahu Alana. "Lan, jawab. Lo kenapa? Kok ... rambutnya bisa begitu?" tanya Kendra hati-hati. Mata sembab Alana membuat cowok itu khawatir setengah mati. Ia yakin, pasti ada sesuatu yang tidak beres.

Alana langsung buru-buru meraih topinya yang jatuh dan langsung memakainya seperti yang ia pakai sebelumnya. Gadis itu menggeleng cepat lalu meninggalkan Kendra. Kalau ia masih berlama-lama di sana, ia bisa nangis detik itu juga. Dan ia tidak mau.

Namun, namanya bukan Kendra kalau tidak mencengat Alana saat pergi, kan?

"Siapa yang motong rambut lo sampe kayak gitu?" tanya Kendra penuh ketegasan. Alana dapat melihat kedua rahang Kendra yang mengeras. Alana langsung menggeleng, matanya tertuju pada aspal yang ia tapak. "Bukan siapa-siapa." Suaranya terdengar bergetar.

The Senior Next DoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang