Part 9

714 65 6
                                    

Kota bandung menjadi salah satu pilihanku untuk menghindar dari Abi. Selain di Bandung ada Mas Bian, aku juga punya rencana untuk meneruskan kuliahku di salah satu universitas yang terbilang cukup membanggakan kota Bandung.

Sepanjang di Bandung, aku banyak menghabiskan waktuku untuk meng-eksplore keindahan kota kembang itu atau hanya sekadar duduk manis di sebuah cafe dengan ditemani oleh secangkir kopi.

Setidaknya dengan semua kegiatan yang selalu aku lakukan secara berulang tidak membuatku merasa jenuh, atau kesepian. Terkadang akupun heran, mengapa kopi bisa membuatku tenang? Padahal dulu, aku tidak menyukai kopi, jangankan mencicipi, melihatnya saja aku malas sekali.

Tapi kini? Ah, aku rasa semakin berjalannya waktu, aku menjadi pecinta kopi, atau lebih ke pecandu kopi? Entahlah, lebih tepatnya aku menikmati sensasi kopi yang pahit seperti kisah cintaku dengan Abi.

Dan malam ini, aku telah menghabiskan seperempat malamku dengan menatap langit malam sembari menyesap kopi. Kata orang, jika kita berbicara pada langit malam, atau menyampaikan sebuah pesan untuk orang lain, akan terdengar oleh orang yang kita tuju itu. Atau akan tersampaikan dalam mimpi orang tersebut.

Aku tidak terlalu mempercayai itu, tapi apa salahnya aku coba? Kalaupun itu hanya cuap-cuap manis dari para sesepuh dalam keluargaku, setidaknya aku tidak penasaran karena telah mencobanya. Dan kini, aku pejamkan mataku perlahan, sedikit demi sedikit aku mulai merasa seperti terbang di udara.

Aku dapat merasakan napasku sedikit tersendat, mengingat masa SMA-ku saat di Jakarta. Mataku mulai memanas, tapi untuk malam ini tidak akan aku biarkan air mataku kembali lolos, aku akan kuat untuk diriku sendiri. Aku harus terlihat kuat, aku yakinkan itu dalam diriku.

Untukmu sang matahari, masihkah kamu bersinar dan menunggu senja mementaskan keindahannya? Kini, aku mencoba bahagia tanpa sinarmu, aku mencoba terbiasa tenggelam karenamu. Abimana, aku merindukanmu.

Lagu Brian adams mengalun indah dari ponselku, aku tahu ada telepon masuk disana. Tapi aku sedang malas mengangkatnya, aku terlalu menikmati suasana sepi pada malam ini.

Namun, suara dering ponselku terus berbunyi secara berulang. Dengan kesal aku mengangkatnya, aku dapat mendengar Olin sedang mencoba berbicara, namun sepertinya ia masih bingung memulainya dari mana.

Dan aku, hanya terus diam dengan ponsel yang masih berada di telingaku. Hingga saatnya Olin mengatakan sesuatu hal yang berhasil membuatku terpaku.

"Yang benar?" tanyaku memastikan.

Entah apa yang aku pikirkan, saat itu aku hanya langsung mematikan sambungan teleponku dengan Olin ketika Olin mengatakan kebenaran informasi tersebut. Beberapa kali aku mengetuk-ngetukan ujung ponselku ke daguku. Aku sedang berpikir untuk mengambil sebuah keputusan.

Aku tidak tahu risiko apa yang akan terjadi jika aku kembali menghubungi Abi walau hanya sebagai bentuk bela sungkawa atas kematian Ayahnya. Aku sudah bersusah payah mengobati lukaku selama setahun, aku sudah mencoba terbiasa tanpa Abi dalam hidupku. Dan kini, setelah aku menyelesaikan sekolahku di Bandung, takdir lagi-lagi menyatukan aku dengan Abi pada jalan yang bahkan aku tidak tahu ujungnya seperti apa.

Apakah aku akan kembali hancur? Atau ini jalan untukku kembali bahagia?

Dan aku mulai membenci reaksi tubuhku yang memilih kembali ke Jakarta untuk menemui Abi. Hatiku terlalu khawatir jika Abi membutuhkan teman, atau seseorang untuk tempatnya bersandar. Aku merasa hilang akal saat itu.

Tidak butuh waktu lama, kini aku sudah sampai di Jakarta, lebih tepatnya di depan rumah Abi. Sejenak aku menghela napas, mencoba menguatkan diriku untuk apapun yang akan terjadi kedepannya. Aku mencoba menyiapkan diri untuk nantinya kembali hancur.

Aku membuka ponselku, dan langsung menelpon nomer Abi. Belum lima menit nada sambung terdengar, Abi sudah menjawabnya. Sejenak aku terdiam ketika ia menyapa, sampai akhirnya aku membuka suara. Aku berkata bahwa saat ini aku berada di depan rumahnya.

Saat itu juga aku melihat pintu terbuka dan menampilkan sosok Abi dengan tangan yang masih memegang ponselnya di telinga. Aku tersenyum kaku sebelum akhirnya aku merasakan bahwa Abi memelukku, membuat tubuhku seketika membeku.

"Untuk pertama kalinya aku menangis, Lia. Sebelumnya, aku tidak pernah menunjukkan kelemahanku pada siapapun." termasuk kepadaku, Ab. Lanjutku dalam hati.

Aku tidak memikirkan banyak hal selain mencoba menghiburnya. Aku bisa melihat tatapan kehilangan dan kerinduan yang besar. Aku tahu Abi kehilangan Ayahnya, dan tatapan kehilangan itu untuk beliau.

Tapi aku tidak yakin dengan tatapan kerinduan itu untuk Ayahnya juga. Apa Abi merindukanku? Mungkinkah. Memikirkan itu, membuatku tersenyum kecut.

Aku harus sadar dimana posisiku seharusnya. Aku tidaklah lebih penting dari Nania, dan aku sempat menyesal karena kembali peduli pada Abi yang berpotensi hatiku kembali kepadanya.

"Nania sudah datang?" tanyaku.

Abi hanya menjawab dengan gelengan kepala. Aku sempat kesal, bagaimana bisa Nania yang masih satu kota tidak datang lebih dulu?

Aku yang memutuskan untuk duduk di ruang tamu hanya bertanya perihal ketidak datangan kekasihnya itu, dan Abi menjawab kemungkinan Nania sedang sibuk. Sedangkan aku yang mendengar itu hanya bisa mendengus kasar. Aku hanya menempatkan diriku pada tempat yang seharusnya, yaitu sebagai orang lain, jadi aku tak punya hak untuk menanyakan lebih lanjut, kecuali Abi membuka diri untuk aku mengetahui fakta tentang dirinya dan hubungannya bersama Nania sepanjang menghilangnya aku dari Jakarta.

Kami memilih diam untuk beberapa saat hingga akhirnya Ibunya Abi keluar dan menyapaku. Beliau bercerita perihal detik-detik kematian Ayahnya. Aku yang saat itu memang sedikit tahu tentang penyakit Ayahnya Abi, hanya diam mendengarkan. Aku tidak punya ruang untuk bertanya banyak selain menyimak dan sesekali memasang wajah terkejut.

Aku bukan munafik, aku hanya bingung ingin menunjukkan ekspresi seperti apa, didepan Ibu dari seseorang yang telah membuatku jatuh hati. Hingga saatnya tiba, Ibunya Abi membahas soal adik Abi yang bernama Raja, aku cukup mengenal baik dengannya, mengingat dulu Raja diam-diam suka mengirim pesan singkat padaku, untuk sekadar cerita kisah cintanya.

"Disini, anak Ibu keduanya lelaki, nggak ada perempuan. Paling nanti kalau Abi atau Raja sudah menikah, Ibu baru akan memiliki anak perempuan, yaitu menantu Ibu." ucapnya sembari mengulum senyum.

Aku tergagap mendengarnya, aku harus bereaksi seperti apa? Saat itu aku hanya mampu terkekeh menutupi kegugupanku, begitupun dengan Abi yang juga melakukan hal yang sama denganku.

Kami tahu, kami tidak ada hubungan spesial selain hanya teman pakai hati, tapi jika ada hal atau seseorang yang menyinggung kedekatan kami, atau menjurus kesana, membuat kami bingung harus memberi respon seperti apa.

Dan kini, aku merasa jantungku berdegup kencang, sekuat mungkin aku menahan debaran gila itu, tapi rasanya sulit. Aku hanya mampu berharap, semoga Abi atau Ibunya tidak mendengar debaran ini, debaran yang dulu selalu ada ketika Abi menatapku dalam diam.

•TBC•

Gengs! Maaf banget baru up😭 kemarin itu habis kouta, terus minjem hospot, eh cuma dikasih sebentar, sedih yah kalau lagi bokek kouta abis?😒 tapi! Sebagai gantinya, hari ini bakalan double up, semoga ada yang nunggu deh ya😳 wkwkwk...

Jangan lupa vote!!❤

Everything I Do (COMPLETED)Where stories live. Discover now